KOMPAS.com - Seorang ahli vulkanologi California Jess Phoenix baru saja memberikan pendapatnya terkait Gunung Anak Krakatau. Dalam laporan yang ditayangkan oleh BBC, Phoenix menyebut bahwa gunung ini sedang memasuki fase baru dan mematikan.
Pendapat itu diutarakan oleh Phoenix setelah melihat gambar-gambat erupsi dan menganalisis lini masa erupsi Gunung Anak Krakatau.
Menurut Phoenix, fase baru erupsi Anak Krakatau ini diikuti tragedi yang tidak biasa yaitu tsunami. Dari data yang ada, Phoenix menyebut kemungkinan runtuhnya bagian Anak Krakatau memicu longsor bawah laut.
Pergeseran batuan ini lah yang diyakini sebagai faktor penyebab tsunami Selat Sunda pada Sabtu (22/12/2018) lalu. Dampak tsunami yang menewaskan ratusan orang ini yang dianggap oleh Phoenix sebagai fase mematikan.
Baca juga: Citra Radar BPPT Ungkap Bagian Selatan Anak Krakatau Longsor
Namun, artikel di BBC tersebut tidak dipercayai oleh Surono, ahli vulkanologi Indonesia.
"Tidak ada alasan ilmiah yang menyebutkan penyebab Anak Krakatau memasuki fase baru dan mematikan, judulnya saja dan saya tidak percaya," ungkap pria yang akrab disapa Mbah Rono itu, Kamis (27/12/2018).
Ketika ditanya mengenai status Gunung Anak Krakatau yang ditingkatkan menjadi level III (Siaga), Surono mengatakan itu tidak mencerminkan ancamannya heboh.
"Maksimum daerah bahaya 5 km saja, di luar itu aman," tegasnya.
Mengenai potensi longsornya kembali tebing Gunung Anak Krakatau, Surono mengatakan dirinya tidak tahu berapa persen potensinya.
"Tapi saya kira kecil-kecil saja (potensi longsoran)," kata Surono.
Menurut ahli kegunungapian ini, longsoran yang terjadi pada Gunung Anak Krakatau tidak mempengaruhi karakter erupsi gunung tersebut.
"Letusannya ya seperti Anak Krakatau (tidak berubah), semburan material jika malam kelihatan menyala atau merah, kalau siang hitam, miskin awan panas," jelas pria yang pernah menjabat sebagai kepala PVMBG itu.
Melihat pertumbuhan Anak Krakatau saat ini, Surono mengatakan bahwa dirinya tidak bisa berandai-andai mengenai potensi bencana yang bisa terjadi.
"Kita lihat saja berjalanan aktivitas letusannya, saya tidak bisa berandai-andai," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.