KOMPAS.com - Sistem informasi terkait tsunami yang terjadi akibat aktivitas erupsi anak gunung Krakatau pada Sabtu (22/12/2018) sempat menjadi perdebatan publik.
Pasalnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sempat mengatakan bahwa bencana yang menerpa wilayah selatan Sumatera dan barat Jawa tersebut bukan merupakan tsunami.
Dampaknya, banyak asumsi yang mengatakan bahwa akun sosial media milik BMKG tidak profesional.
Namun hal ini disangkal oleh kepala BMKG, Dwikorita Karnawati. Dwikorita menyatakan bahwa BMKG sudah menyampaikan informasi yang tepat.
"Ini yang perlu diluruskan. Jadi cara BMKG memberikan informasi itu yang penting cepat agar masyarakat tidak panik," ungkap Dwikorita saat ditemui pada konferensi pers pada Senin (24/12/2018) di kantor BMKG.
Baca juga: Pasca Tsunami Selat Sunda, Begini Rencana Pemerintah Terkait Mitigasi
"Dan fenomenanya itu kan beberapa, fenomena yang terjadi. Peringatan dini itu kan tentang gelombang tinggi. Sehingga yang di sosial media yang diberitakan itu gelombang tinggi," sambungnya.
Dwikorita menambahkan bahwa sesaat kemudian informasi tersebut ditambahkan informasi baru dari badan geologi terkait adanya erupsi Anak Krakatau.
"Kemudian itu tidak diralat tapi tambahan informasi baru bahwa badan geologi menginformasikan ada erupsi," ujar Dwikorita.
"Nah informasi itu diperoleh setelah informasi berdasarkan pantauan ada gelombang tinggi. Setelah ada informasi dari tidegauge dan vulaknologi berarti kami simpulkan fenomena itu bareng. Jadi dua-duanya benar," imbuhnya.
Terkait asumsi bahwa BMKG kurang profesional dalam melakukan tugas, Dwikorita menampiknya. Menurutnya, BMKG sudah menginformasikan sesuai dengan alur yang tepat.
Alur informasi tersebut adalah para ahli yang ada di stasiun pemantauan dan di pusat melakukan koordinasi terkait fenomena yang terjadi. Kemudian informasi tersebut disebarkan melalui bagian humas BMKG.
Dwikorita juga menjelaskan bahwa kapasitas BMKG saat ini masih pada pendeteksian gempa yang disebabkan oleh alasan tektonik, bukan dari gempa vulkanik.
"Sehingga kalau namanya vulkanik, BMKG tidak mempunyai otoritas untuk memantau itu. Itu sudah ada (pihak yang berwenang)," tuturnya.
"Oleh karenanya, itu tidak dapat terpantau oleh sensor gempa tektonik yang ada BMKG, karena lebih dari 90 persen kejadian tsunami di Indonesia diakibatkan gempa tektonik," ujar Dwikorita.
Baca juga: Tapak Tilas Tsunami Selat Sunda Ungkap 3 Sebab Utamanya
Mengingat Gunung Anak Krakatau yang masih sangat aktif hingga saat ini, Dwikorita akan berkoordinasi dan mendukung untuk membantu pemantauan tsunami akibat gempa vulkanik.