KOMPAS.com - Salah satu masalah global yang sedang kita hadapi adalah pencemaran plastik yang mulai menguasai lautan dan menyebabkan ratusan spesies laut mengonsumsinya. Berbagai alternatif ditawarkan, salah satunya bioplastik.
Hingga saat ini lebih dari 8 triliun kilogram plastik diproduksi, dan sekitar 8 miliar kilogram di antaranya berakhir di lautan. Tentu saja plastik-plastik itu merusak lingkungan. Celakanya, sekitar 180 spesies hewan laut terbukti mengonsumsi plastik.
Hewan laut berbagai jenis dan ukuran tercemar plastik, termasuk plankton, anjing laut, ikan laut, penyu, dan paus sperma yang Senin kemarin (19/11/2018) dikabarkan mati terdampar di Wakatobi.
Ini adalah masalah global yang kita hadapi bersama dan semakin banyak ilmuwan tergerak meneliti dampak penggunaan plastik. Beruntung, beberapa kalangan seperti konsumen dan produsen juga mulai sadar akan masalah ini. Mereka ikut memberikan berbagai alternatif, salah satunya bioplastik.
Baca juga: Teguran buat Kita, Paus yang Mati di Wakatobi Tercemar 5 Kg Plastik
Sepintas, bioplastik terdengar menjanjikan dan disebut produk ramah lingkungan. Namun, apakah benar bioplastik dapat dijadikan obat mujarab untuk menyembuhkan lingkungan?
Jawabannya sebenarnya rumit. Para ilmuwan, produsen, dan pakar lingkungan yang memperingatkan manfaat bioplastik mangatakan "tergantung".
Plastik pada umumnya terbuat dari bahan sintetis dan diolah dengan proses polimerasi atau penyusunan rantai senyawa menggunakan bahan-bahan seperti minyak bumi.
Bioplastik mengacu pada plastik yang terbuat dari tumbuhan atau bahan biologis lain, bukan minyak bumi. Bioplastik juga sering disebut plastik berbasis bio.
Bahan pembuat bioplastik salah satunya adalah Poli asam laktat (polylactic acid atau PLA) yang ada di tanaman jagung dan tebu, atau polihidroksialkanoat (PHA) yang direkayasa dari mikroorganisme.
Plastik PLA yang mengandung glukosa umumnya digunakan sebagai pembungkus makanan, botol plastik, hingga tekstil. PLA merupakan sumber bioplastik termurah dan yang paling sering kita temukan di pasaran.
Sementara PHA memiliki ciri lebih ulet, kurang elastis, dan dapat terurai. Bioplastik jenis ini banyak digunakan dalam industri dunia medis.
"Argumennya, bioplastik merupakan suatu alternatif untuk mengurangi jejak karbon," kata ahli kimia Ramani Narayan dari Michigan State University yang meneliti bioplastik, dilansir National Geographic, Kamis (15/11/2018).
Minyak bumi yang digunakan untuk membuat plastik sintetis sekitar delapan persen setiap tahunnya. Dengan menggunakan bioplastik, para pendukungnya percaya penggunaan minyak bumi berkurang dan ini merupakan langkah besar.
Pandangan itu diperkuat dengan fakta bahwa plastik sintetis tidak mudah terurai dan justru menyumbang efek rumah kaca. Sementara bioplastik dirancang untuk mudah terurai dan dengan mudah terdegradasi, baik melalui serangan mikroorganisme maupun cuaca (kelembaban dan sinar matahari).
Namun, masalah lain muncul. Sebuah studi yang dilakukan University of Pittsburgh pada 2011 menemukan bahwa bioplastik menyebabkan ancaman berkurangnya lahan yang seharusnya digunakan untuk tanaman pangan.