KOMPAS.com – Pemulung sampah merupakan salah satu bagian terpenting dalam pengelolaan sampah di Indonesia. Berkat mereka, 62 persen plastik PET di Indonesia berhasil dikumpulkan untuk didaur ulang. Presentase tersebut bahkan lebih tinggi dari Eropa.
Sayangnya, keberadaan mereka sering kali tidak diapresiasi, bahkan ditolak oleh masyarakat.
Pada hari Rabu (31/10/2018), Kompas.com berkesempatan untuk menemui salah satu keluarga pemulung sampah ketika mengikuti Circularity Tour dari Danone Aqua.
Di Tohpati, Denpasar; Ningsih yang merupakan pengumpul sampah skala kecil tinggal bersama suaminya yang berprofesi sebagai pemulung sampah dan putrinya yang kini berusia sembilan bulan.
Baca juga: Begini Perjalanan Botol Plastik dari Tempat Sampah Anda ke Botol Baru
Sebagai seorang pengumpul sampah, dia bertugas memilah sampah yang dikumpulkannya di rumah. Namun, karena suaminya hanya dapat mengumpulkan 10-20 kilogram sampah dalam sehari, dia pun menerima sampah dari pemulung lain.
Sekarung sampah yang belum disortir dan berbobot 15 kilogram dihargai oleh Ningsih Rp 25.000. Setelah dipilahnya, sekarung botol PET dengan bobot yang sama bisa dihargai Rp 75.000 oleh pengumpul sampah yang lebih besar.
Namun, mengumpulkan 10-20 kilogram sampah itu juga bukan hal yang mudah. Dituturkan oleh Ningsih, suaminya mulai bekerja pada pukul 9.00 sampai 16.00. Dia berkeliling dari satu perumahan ke perumahan lainnya sambil menarik gerobak demi mengumpulkan berbagai macam sampah, dari botol plastik, ember bekas, kardus, hingga besi.
“Yang mencari sampah ya suami saya. Kadang enggak diterima, dimarahi orang, takut juga kalau diserempet motor,” ujarnya.
Baca juga: Pertama di Indonesia, Botol AMDK dari 100 Persen Plastik Daur Ulang
Namun, masalah terbesar yang dihadapi oleh para pemulung adalah kurangnya fasilitas, termasuk fasilitas kesehatan.
Kebanyakan pemulung di Bali berasal dari Jawa. Ningsih dan keluarganya sendiri berasal dari Bondowoso. Tanpa KTP atau Kartu Keluarga, Ningsih dan para pemulung lainnya di Bali tidak bisa mengakses BPJS.
Beruntung, ada organisasi seperti Dompet Sosial Mardani yang berupaya untuk memberikan akses fasilitas kesehatan kepada para pemulung. Danone Aqua sendiri turut membantu membukakan akses para pemulung ke Dompet Sosial Mardani.
Ditemui di rumah Ningsih, Siti dari Dompet Sosial Mardani berkata bahwa organisasinya membantu para pemulung, seperti keluarga Ningsih, untuk dapat ikut BPJS secara khusus.
“(Jadi) dimudahkan administrasinya. Minimal ingat nomor BPJS-nya saja bisa ikut BPJS,” katanya.
Baca juga: 10 Menit Bersama Luhut: Musuh Bersama Kita adalah Sampah Plastik
Akan tetapi, bukan berarti para pemulung ini bisa ikut BPJS secara cuma-cuma. Dompet Sosial Mardani telah bekerja sama dengan bandar pengumpul sampah yang lebih besar untuk langsung memotong Rp 1.000-Rp 2.000 per hari dari hasil pengumpulan sampah para pemulung sebagai iuran BPJS.
Tujuan dari iuran ini adalah agar para pemulung bisa punya kesadaran sendiri atas manfaat dari BPJS. Ningsih adalah salah satu yang sudah merasakan manfaatnya. Sembilan bulan yang lalu, dia melahirkan putrinya secara sesar dan ditanggung BPJS.
Untuk para pemulung yang tidak bisa mengakses BPJS, Dompet Sosial Mardani juga menyediakan program kesehatan yang berkeliling dua bulan sekali.
Selain itu, ada juga klinik kesehatan bagi para pemulung, karyawan dan warga sekitar dari Bali PET Recycling Center dan Namasindo Plas.
Budi dari Bali PET Recycling Center di Tohpati, Denpasar yang ditemui di hari yang sama berkata bahwa klinik tersebut dibuka setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu. Pada hari Sabtu, klinik berkeliling bersama dokter, perawat, dan apoteker dalam bentuk ambulan. Layanan kesehatan ini tidak dipungut biaya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.