Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Takut Terbang Setelah Tragedi Lion Air, Ini yang Harus Dilakukan

Kompas.com - 29/10/2018, 19:24 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Penulis

KOMPAS.com - Jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 Senin (29/10/2018) pagi membuat beberapa warga masyarakat menyatakan kekhawatirannya untuk melakukan perjalanan udara.

Menurut Listyo Yuwanto, seorang psikolog klinis ini merupakan hal yang lumrah dirasakan warga. Dia mengatakan hal ini disebabkan oleh faktor psikologis, yaitu pada dasarnya manusia memiliki hakikat dasar ketakutan akan luka atau kematian.

"Kecelakaan pesawat yang baru terjadi menjadi stimulus yang mengaktifkan kembali memori-memori masa lalu terkait dengan berbagai kejadian kecelakaan pesawat yang selama ini umumnya menimbulkan korban jiwa," kata Listyo melalui pesan singkat, Senin (29/10/2018).

"Pada dasarnya pesawat yang mengalami kecelakaan memang memiliki risiko yang tinggi menimbulkan korban jiwa karena bisa mengalami crash, jatuh di perairan, ataupun terbakar," imbuhnya.

Tak hanya itu, pengetahuan bahwa ketika pesawat mengalami kerusakan teknis saat penerbangan juga berisiko menimbulkan kecelakaan karena kecilnya kemungkinan perbaikan sistem dilakukan di udara juga turut membuat kekhawatiran masyarakat bertambah.

Apalagi, bayangan saat pilot mengalami human error juga berisiko tinggi mengalami kecelakaan pun bisa menambah ketakutan warga terhadap perjalanan udara.

Listyo menyebut, berbagai kemungkinan penyebab risiko tersebut langsung muncul dalam memori masyarakat ketika tragedi seperti hari ini terjadi. Inilah yang menyebabkan ketakutan dan menjadi dasar pengambilan keputusan untuk tidak menggunakan armada pesawat oleh masyarakat.

"Dalam kondisi recency memory pesawat mengalami kecelakaan masyarakat akan menilai bahwa pesawat tidak aman, terutama maskapai yang baru saja mengalami kecelakaan," katanya.

Baca juga: BMKG: Jatuhnya Lion Air JT 610 Tak Ada Hubungannya dengan Cuaca

"Masyarakat menjadi mengabaikan faktor-faktor atau hal positif dari transportasi udara seperti banyak pesawat yang tidak mengalami kecelakaan, transportasi penerbangan lebih cepat, ataupun hal lain yang positif," tambahnya.

Bagi Masyarakat

Untuk menghilangkan ketakutan tersebut, Listyo mengimbau masyarakat untuk bersikap kritis terhadap pemberitaan terkait kasus ini.

"Sebaiknya masyarakat dalam menyikapi pemberitaan tetap berpikir kritis," tegasnya.

Listyo menambahkan, "(Masyarakat perlu) mencari informasi penyebabnya secara detail dan tidak langsung menggeneralisasikan semua penerbangan tidak aman atau salah satu maskapai tertentu tidak aman."

Pelajaran Bagi Maskapai

Namun upaya untuk menghilangkan kekhawatiran masyarakat terhadap perjalanan udara juga harus dilakukan oleh semua pihak. Salah satunya maskapai.

"Hal ini juga menjadi salah satu refleksi pembelajaran bagi semua maskapai," tutur Listyo

"Terutama berkaitan dengan penjelasan ketika terjadi delay penerbangan yang seringkali menggunakan alasan operasional atau teknis kepada para calon penumpang," imbuhnya.

Alasan-alasan semacam ini, menurut Listyo, membuat masyarakat menilai bahwa maskapai tidak merawat pesawatnya dengan baik.

"Sehingga tidak mengherankan ketika terjadi kecelakaan pesawat, banyak masyarakat yang menilai secara langsung pesawat maskapai tidak terawat secara baik," katanya.

Dia menambahkan, ketika pesawat delay selalu disebutkan alasan negatif seperti masalah operasional atau teknis. Sayangnya, sering kali masalah-masalah teknis atau operasional tersebut tidak disebutkan sehingga calon penumpang mempunyai interpretasi masing-masing.

Interpretasi inilah yang kemudian membuat masyarakat menilai bahwa maskapai tidak melakukan perawatan pesawat dengan semestinya. Hal ini menambah keraguan masyarakat untuk kembali menggunakan jalur transportasi udara.

Saran untuk Media

Terkait ketakutan dan kekhawatiran warga terhadap transportasi udara setelah peristiwa ini terjadi, Listyo tidak memungkiri adanya peran media. Untuk itu, dia mengingatkan pentingnya media tetap menggunakan standar kode etik pemberitaan.

"Sebaiknya tetap menggunakan standar kode etik pemberitaan, yaitu menampilkan fakta yang sudah sesuai dengan data yang di-release pihak-pihak yang berwenang dalam kecelakaan pesawat seperti pihak Airnav, KNKT, ataupun Basarnas," ujarnya mengingatkan.

"Apabila pemberitaan yang sudah ditampilkan sesuai dengan data harus selektif dalam menampilkan foto-foto sebagai ilustrasi," imbuhnya.

Listyo mencontohkan, media bisa menampilkan detail grafis penyebab kecelakaan yang sesuai dengan fakta dan data. Dengan meberikan fakta dan data, diharapkan hal itu bisa memberi edukasi kepada masyarakat.

Namun di samping itu, dia mengingatkan media untuk tidak menampilkan foto-foto jenazah korban apalagi secara vulgar.

"Dibanding menampilkan foto bangkai pesawat lebih baik menampilkan foto-foto ilustrasi pesawat sehingga tidak menimbulkan bayangan negatif atau kengerian bagi pembaca," tegasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com