Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Narasi Azab dalam Sinetron Kita Mencoreng Wajah Agama

Kompas.com - 09/10/2018, 19:00 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Sinetron bertema azab bukan hal baru tetapi belakangan menjadi sorotan netizen. Dalam tayangan televisi itu, Tuhan digambarkan sebagai juru azab dan agama sebagai sesuatu yang mengerikan.

Peneliti antropologi politik dan agama dari Universitas Paramadina, Suratno, mengungkapkan bahwa sinetron azab tidak masuk akal dan justru mencoreng wajah Islam.

"Saya kira narasi besar sinetron azab itu Islam yang irasional, tidak logis, sumbu pendek," katanya saat dihubungi Kompas.com, Selasa (9/10/2018).

 


Hal yang sama diungkapkan Muzayin Nazaruddin, staf pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dalam makalahnya yang berjudul "Menonton Sinetron Religius, Menonton Islam Indonesia".

Ia menyatakan, sinetron religius yang menjual azab menampilkan Islam yang melihat realitas secara ekstrem hitam putih.

Muslim ideal adalah yang penuh kepasrahan. Sosok agamawan dalam sinetron religius, kata Muzayin, ditampilkan reduktif. Kerapkali sebagai pengusir hantu dan penangkal sosok jahat. Kematian digambarkan sebagai sesuatu yang mengerikan.

Demikian juga Al Quran. Kitab suci maha mulia yang sebenarnya memuat banyak pesan itu ditampilkan sebagai sumber ayat azab serta pengusir roh jahat.

Narasi besar itu bertentangan dengan wajah Islam yang sebenarnya. "Al Quran sebenarnya banyak mengajak kita untuk berpikir. Afala tatafakkarun. Menggunakan akal pikiran," kata Suratno.

Baca juga: Dijual Rp 22 Miliar, Inilah Isi Surat Einstein tentang Agama dan Tuhan

Kemunduran

Dalam makalahnya yang terbit 2009, Muzayin menuturkan bahwa sinetron bertema azab bisa laku karena penggemarnya tak hanya mencari hal baru tetapi juga "bernostalgia".

Mereka bermimpi mendapatkan masa lalu di mana ada keadilan, Tuhan membalas pendosa dan orang yang merusak tatanan sosial serta memenangkan orang tak berdaya.

Realitas itu dirindukan sebab dalam kenyataannya, orang tak berdaya kerap melihat ketimpangan, kemenangan orang yang dianggap tidak bermoral, dan hidup yang makin sulit.

"Maka, jika kita kaitkan dengan permasalahan sehari-hari, tayangan-tayangan mistik tersebut, baik film maupun sinetron, sungguh-sungguh lepas dari realitas sosial empirik. Tegasnya, a-historis," urai Muzayin.

Suratno mengungkapkan, kemunculan sinetron dan film bertema azab yang kembali marak di layar kaca adalah potret kemunduran.

"Umat yang sudah mulai lebih rasional digiring lagi mundur ke belakang, ke yang irasional, seram. Jadi tayangan bertema azab ini adalah setback," katanya.

Di sisi lain, sinetron itu juga mengomunikasikan azab dengan tidak tepat, seolah-olah Tuhan adalah azab selalu diterima di dunia.

"Azab itu ada 3, di dunia, di kubur, dan di akhirat. Jadi enggak mesti di dunia," katanya. "Kenyataannya azab di dunia itu juga problematis karena tafsirnya subyektif."

Seseorang bisa melihat peristiwa buruk tertentu sebagai azab tetapi orang lain bisa melihatnya sebagai tantangan hidup.

Jika sinetron bertema azab itu terus dibiarkan, dampaknya secara tidak langsung bisa membuat orang dengan mudah mengutuk pihak lain di samping membuat orang salah sangka dengan agama.

"Yang dampak langsung menurut saya adalah membentuk nalar sarkastik. Lebih baik kalau sinetron seperti itu konsepnya pintu tobat. Meski konsepnya vulgar, sederhana, simplistik, tapi lebih edukatif," katanya.

Baca juga: 11 Kutipan Stephen Hawking soal Lubang Hitam, Semesta, dan Kematian

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau