Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

18 Ilmuwan Akan Bergabung untuk Pindai Dasar Lautan Palu

Kompas.com - 01/10/2018, 15:30 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Penulis

KOMPAS.com - Pasca tsunami Palu yang terjadi pada Jumat (28/09/2018) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dikabarkan akan melakukan survei dasar laut.

Survei ini diperlukan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi terkait gempa Donggala hingga menyebabkan tsunami Palu tersebut.

Nantinya, survei yang akan segera dilakukan tersebut dipimpin oleh Udrekh, salah satu pakar kebencaan ddi Indonesia.

"Gempa Aceh saja, setelah gempa kita melakukan survei laut sampai tahun 2016 pun ada," ungkap Udrekh kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Senin (01/10/2018).

Menurut Udrekh, banyak rahasia tentang kebencanaan yang terjadi rahasia berada di dasar laut.

"Misalnya kejadian tsunami kemarin, apakah memang merupakan longsoran atau ada sesuatu yang patah di sana, terangkat, dan lain sebagainya," ujar Udrekh.

"Semua informasi itu kan adanya di dasar laut. Sehingga jika kita tidak memahami mekanisme yang ada di situ, ya kita tidak bisa memberikan pengertian penyebabnya" tegasnya.

Padahal, kata Udrekh, pengertian tentang penyebab tsunami dan gempa tersebut penting untuk melihat kondisi berikutnya.

"Contohnya, kita kan pernah kena gempa 2012 itu. Ternyata dari hasil kajian data laut, gempa 2012 di Aceh berhubungan dengan gempa 2004 tapi kita tidak menyadarinya," tutur Udrekh.

Untuk melihat potensi gempa yang ada, survei dasar laut ini harus segera dilakukan pasca gempa Donggala dan tsunami di Palu. Rencananya, survei bawah laut tersebut akan dilaksanakan pada minggu ini.

Baca juga: Kok Bisa-bisanya Tsunami Palu Tak Terdeteksi? BIG Beberkan Masalahnya

"Diharapkan minggu ini. Kalau rencana di hari Rabu," jelas Udrekh.

Selain waktu, yang banyak menjadi pertanyaan adalah alat yang akan digunakan dalam survei ini.

"Saat ini yang benar-benar available itu multibeam, untuk mengetahui data morfologi dasar laut setelah terjadinya tsunami," kata Udrekh.

"Kalau ada longsor, kita sebutkan longsornya, ada bekas jejak-jejak runtuhan, patahan, dan lain sebagainya bisa kita lihat," sambungnya.

Untuk itu, menurut Udrekh, survei ini perlu segera dilakukan sebelum terjadi proses yang mengubah kondisi di bawah laut tersebut.

Survei ini sendiri dijadwalkan dilakukan selama 20 hari. Meski begitu, Udrekh menyebut mungkin akan memerlukan waktu lebih lama karena perjalanan pulang pergi.

"Ini sedang kita optimalkan. Berdasarkan hasil perhitungan, kita mengoptimalkan selama 10 hari agar bisa meng-cover wilayah yang menurut kita penting untuk didapatkan datanya," tegasnya.

Udrekh juga menegaskan, sebenarnya gagasannya sendiri dari Kemenko Maritim.

"Walaupun memang kumpulan dari teman-teman sendiri lebih kepada gabungan ilmuwan yang punya kepedulian. Jadi tidak terlalu mengangkat institusinya," tegas Udrekh.

Dalam survei ini, BPPT menjadi penyedia kapalnya.

"Banyak juga peran dari ikatan alumni ITB. Kemenko Maritim juga terlibat," tuturnya.

Baca juga: Apa itu Sesar Palu Koro yang Menyebabkan Tsunami dan Gempa Bumi?

"Ilmuwan yang ikut serta ada dari ikatan ahli geologi, BMKG, Pusat Studi Gempa Nasional, ada dari LIPI, PPPGL (Puslitbang geologi laut). Ada 18 slot ilmuwan," tambahnya.

Tsunami Palu pada Jumat (28/09/2018) lalu memang mengangetkan banyak pihak. Apalagi, tsunami dengan ketinggian hampir 3 meter ini muncul tak lama setelah gempa Donggala bermagnitudo 7,4 terjadi.

Terlebih, pencabutan peringatan dini dan penanganan bencana kali ini menimbulkan banyak kontroversi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com