KOMPAS.com – Banyak wanita, terutama di wilayah pedesaan menghindari program perencanaan keluarga atau Keluarga Berencana (KB). Salah satu alasannya adalah adanya asumsi bahwa melaksanakan KB dapat membuat tubuh menjadi gemuk.
Namun, benarkah asumsi tersebut?
Asri Dewi Wahyuningtyas, seorang bidan dari desa Sambigede, Kecamatan Sumberpucung, Malang mengatakan bawa anggapan itu tidak sepenuhnya benar.
Menurut Asri, penggunaan alat perencanaan keluarga, bukan faktor utama yang dapat membuat tubuh menjadi gemuk.
“Sebenarnya kita tetap bisa mengontrol berat badan walaupun ikut KB. Karena yang bikin gemuk ya makan," ungkap Asri kepada Kompas.com pada Rabu (05/09/2018), di Malang.
"Jadi intinya memang ada efeknya ke sana. Tapi kalau kita bisa mengontrol minat kita untuk makan, terutama jajan,” sambungnya.
Namun demikian, dia tidak menangkis anggapan bahwa KB dapat meningkatkan nafsu makan.
Asri menggarisbawahi, KB yang dapat meningkatkan nafsu makan ialah jenis hormonal, di mana ini dapat meningkatkan nafsu makan.
“Sekarang kalau enggak pakai KB tapi pola makannya seperti itu (banyak) ya tetap gemuk," kata Asri.
"Tetap ada efek samping ke gemuknya, tapi itu kalau kita tidak mengontrol makanan. Jadi setelah KB jadi meningkatnya nafsu makan. Makan jadi enak,” tegasnya.
Asri mengatakan, efek samping dari KB tidak hanya peningkatan selera makan yang akan berujung pada kegemukan.
Baca juga: Menjanjikan, Pil KB Pria Ini Ditemukan Efektif dan Tanpa Efek Samping
“Semua KB itu ada efek sampingnya. Tapi ada efek samping yang berbahaya dan tidak. Biasanya kalau suntik pengaruhnya ke haid. Haidnya jadi tidak teratur, kemudian berat badan," jelas Asri.
"Kemudian, kalau untuk IUD (intrauterine device) atau, haidnya jadi banyak. Tapi gapapa, yang penting ga hamil," imbuhnya.
Pada kasus yang berbahaya, terjadi pada program KB IUD yang dapat berujung pada perforasi. Perforasi adalah bocornya dinding rahim akibat dari spiral yang terjebak di dalam atau menusuk rahim.
Akan tetapi, Asri menegaskan dia belum pernah memenumkan kondisi seperti ini.
"Secara teori ada yang mengatakan dampak berbahayanya adalah perforasi. Tapi Alhamdulillah selama 25 tahun berkarir saya tidak pernah nemu,” ujar bidan yang mengawali karirnya pada 1993 tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.