Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Panjang Pembangunan Kesehatan di Papua Barat

Kompas.com - 01/09/2018, 18:06 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

MANOKWARI, KOMPAS.com - Dari hari ke hari, Dinas Kesehatan Papua Barat dan Kementerian Kesehatan terus berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di Papua Barat. Meski demikian, pembangunan kesehatan di provinsi ini adalah jalan panjang yang penuh hambatan.

Lihat saja dari angka harapan hidupnya. Dalam paparannya di Swissbelhotel Manokwari, Senin (27/8/2018), Kepala Dinkes Provinsi Papua Barat Otto Parorrongan, SKM, M.MKes berkata bahwa angka harapan hidup di Papua Barat pada tahun 2017 hanyalah 65,32. Dari 2010, angka ini hanya naik satu tahun dan kini masih di bawah nasional.

Masyarakat Papua Barat juga masih dihantui dengan berbagai penyakit yang mungkin tidak akan pernah Anda alami.

Di daerah ini, kasus malaria dan annual parasite incident (API) sudah menurun tajam sejak tahun 2012. Akan tetapi, malaria masih endemis dan di Manokwari mencapai 6.929 kasus pada 2017.

Baca juga: Kiat Teluk Bintuni Berdayakan Diri dari Malaria

Selain malaria, yang masih menjadi PR di Papua Barat adalah tuberkulosis. Otto berkata bahwa permasalahannya ada pada kondisi geografis Papua Barat yang begitu luas dan menantang.

“Banyak pasien diobati tidak tuntas sampai sembuh. Pasien susah dilacak kembali karena berobatnya ke Manokwari lalu kembali ke pegunungan,” katanya.

Prevalensi HIV di Papua Barat juga hanya turun sedikit dari 2,4 persen menjadi 2,3 persen antara tahun 2006 sampai 2013. Artinya, perlu ada program percepatan untuk menuntaskan HIV.

Untuk masalah kulit, kusta dan frambusia juga masih menjadi masalah di Papua Barat. Banyak masyarakat kota yang belum pernah mendengar nama penyakit ini, tetapi frambusia atau patek adalah jenis penyakit kulit menular yang diakibatkan oleh kurangnya kebersihan.

Gejala penyakit ini adalah timbulnya bintil-bintil kecil yang ketika matang akan merekah dan mengeluarkan nanah. Setelah kering, penyakit ini meninggalkan kerak yang disertai dengan sakit kepala dan nyeri sendi.

Baca juga: Imunisasi MR di Teluk Bintuni Capai 100 Persen

Respons

Sebagai respons terhadap malaria, Papua Barat memperkenalkan program Bela Kampung yang merupakan hasil kajian dari berbagai keberhasilan pengendalian malaria di Papua Barat, termasuk sistem EDAT di Teluk Bintuni.

Program ini memberdayakan kader masyarakat untuk terlibat langsung dalam pengendalian malaria, seperti melakukan pengambilan darah dan memeriksa darah.

Selain itu khusus untuk provinsi Papua Barat, indikator Program Indonesia Sehat - Pendekatan Keluarga ditambah satu untuk malaria. Pemerintah daerah setempat juga membagikan kelambu massal yang bila hinggap, nyamuk bisa mati atau moncongnya patah.

Lalu, hampir semua kota dan kabupaten di Papua Barat telah melaksanakan GERMAS. Kepesertaan JKN juga sudah mencapai 97,07 persen dan diproyeksikan mencapai 100 persen pada 2019.

Sayangnya, baru 69 persen rumah sakit dan 24 persen dari 157 puskesmas di Papua Barat yang sudah terakreditasi. Otto berkata bahwa hal ini dikarenakan oleh keterbatasan tenaga.

“Puskesmas di pedalaman paling hanya 5-10 orang sehingga tidak memenuhi akreditasi. Sumber daya manusianya (di seluruh Papua Barat) juga baru 5.217, masih terlalu sedikit untuk luas wilayahnya,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com