KOMPAS.com — Sebagai salah satu peradaban paling maju di zamannya, suku Maya meninggalkan teka-teki terkait kepunahannya.
Namun, sebuah penelitian terbaru mengungkap petunjuk baru tentang musnahnya penduduk Semenanjung Yucatan, Meksiko, itu.
Petunjuk baru tersebut didapatkan para peneliti dari sebuah danau kuno di wilayah tersebut.
Sebenarnya, ini bukan kali pertama peneliti mencetuskan teori tentang musnahnya bangsa Maya Kuno.
Sebelumnya, keruntuhan bangsa tersebut telah dikaitkan dengan penggundulan hutan, kelebihan penduduk, dan kekeringan ekstrem.
Kini, petunjuk baru ini fokus untuk menyelidiki betapa ekstremnya kekeringan yang terjadi pada masa itu.
Mereka kemudian menganalisis sedimen di bawah Danau Chichancanab di Semenanjung Yucatan.
Hasilnya, mereka menemukan penurunan presipitasi tahunan sebanyak 50 persen selama lebih dari 100 tahun. Tepatnya dari tahun 800 hingga 1.000 Masehi.
Bahkan, dalam tahun-tahun tertentu tercatat penurunan sebanyak 70 persen.
Penelitian yang diterbitkan dalam Science Thursday ini adalah yang pertama mengukur curah hujan, kelembapan relatif, dan penguapan pada waktu itu.
Mereka juga menggabungkan beberapa analisis unsur dan pemodelan untuk menentukan catatan iklim selama peradaban Maya.
Temuan ini mendapatkan beberapa tanggapan dari ahli. Di antaranya oleh Matthew Lachniet, profesor geosains di University of Nevada di Las Vegas.
Baca juga: Goa Bawah Air Terpanjang di Dunia Ungkap Jejak Suku Maya
Lachniet mengatakan, kuantifikasi kekeringan dalam hal ini menjadi penting karena menggambarkan kekuatan variabilitas iklim alami saja.
"Manusia memengaruhi iklim. Kita membuat iklim lebih hangat dan diproyeksikan ini membuat Amerika Tengah lebih kering," ujarnya dikutip dari Washington Post, Jumat (03/08/2018).
"Kita bisa berakhir dengan kekeringan ganda. Jika bertepatan dengan kekeringan dari sebab alami dan kekeringan oleh ulah manusia, maka itu memperkuat dampaknya," sambung Lachniet.
Penelitian sedimen dasar danau tersebut dilakukan karena hal itu memungkinkan ilmuwan menentukan kondisi iklim di masa lalu.
Dengan kata lain, kotoran kuno bisa seperti kapsul waktu geologi.
Itu karena setiap lapisan sedimen yang terkubur jauh di bwah tanah mengandung bukti curah hujan, suhu, bahkan polusi udara.
Melalui serangkaian proses kimia dan interaksi, kondisi alam ini "dicatat" di permukaan tanah pada saat itu hingga akhirnya terkubur.
Menurut Nick Evans, penulis utama penelitian ini, mengatakan hasil analisis sedimen menunjukkan selama periode kering volume danau menyusut.
Jika kekeringan itu terjadi sangat lama, kristal gipsum akan terbentuk dan memasukkan air danau ke dalam strukturnya.
"Fosil air" dalam kristal inilah yang memungkinkan Evans dan koleganya menganalisis sifat air pada peradaban Maya kuno.
"Ini sedekat Anda pernah mengambil sampel air di masa lalu," kata Evans.
Baca juga: Benarkah Gua Bawah Air Terbesar di Dunia Ini Simpan Rahasia Suku Maya?
Penelitian sebelumnya menunjukkan penggundulan hutan turut berperan dalam musnahnya suku kuno itu. Penggundulan hutan menurunkan jumlah uap air dan mengguncang tanah.
Ini menjadi teori tambahan penyebab kekeringan itu.
Evans berharap temuannya ini bisa membantu para arkeolog memahami bagaimana kekeringan purba berdampak pada pertanian Maya di masa kritis mereka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.