KOMPAS.com - Sebuah penelitian terbaru dari Australia menyimpulkan wanita yang mengalami serangan jantung serius, atau dikenal serangan jantung tipe STEMI, lebih kecil kemungkinannya mendapat perawatan yang tepat.
Selain itu, wanita juga berpeluang dua kali lipat meninggal dunia, enam bulan setelah mengalami serangan jantung.
Serangan jantung tipe STEMI merupakan yang paling berat dan bersifat gawat darurat, yang diakibatkan oleh penyumbatan total secara tiba-tiba dari pembuluh darah koronen yang menghantarkan darah untuk otot-otot jantung.
Akibatnya, otot-otot jantung dapat mengalami kerusakan dan mati. Kematian otot jantung akan menyebar dalam satu hari ke seluruh ketebalan dinding jantung.
Baca juga: Studi Temukan, Ibu dengan Banyak Anak Wajib Waspada Serangan Jantung
Salah satu wanita yang pernah mengalami serangan jantung dadakan dan selamat dari kejadian itu adalah Helena Peck (41).
Mengalami serangan jantung, tidak pernah ada dalam bayangannya sekalipun. Bagaimana tidak, kondisi tubuhnya tidak menunjukkan ciri orang yang bakal mengalami serangan jantung sewaktu-waktu.
Ia bukan seorang obesitas, tidak memiliki darah tinggi, dan kadar kolesterolnya masih di batas normal.
"Saya orang yang kurus dan setiap hari menjalankan lima bisnis. Saya kira saya manusia super dan sehat, tetapi ternyata saya tidak terlalu memerhatikan diri saya sendiri," kata Helena.
Saat muncul gejala pertama dari serangan jantung, Helena tidak tahu apa yang terjadi.
Ia hanya berpikir ada yang tidak beres dalam tubuhnya, sehingga ia memutuskan untuk segera ke rumah sakit.
Setelah itu, sakit makin menjadi. Tiba-tiba ada rasa sakit teramat sangat yang menjalar dari punggung ke depan dadanya. "Saya merasa agak nyeri dan sesak di sini. Itu tidak nyaman," imbuhnya.
Keputusanya untuk segera pergi ke rumah sakit adalah keputusan yang tepat. Helena mendapat perawatan tepat yang dibutuhkannya.
Pengobatan kurang tepat pada wanita
Sayangnya, hanya sedikit wanita yang bisa selamat dari serangan jantung darurat seperti Helena.
Sebuah temuan yang terbit Senin (23/7/2018) di Medical Journal of Australia menemukan banyak wanita tak tertolong pasca enam bulan mengalami serangan jantung.
"Studi kami ingin melihat apakah perempuan di Australia mengalami hal yang sama seperti pria, terkait kasus serangan jantung serius atau STEMI," kata Clara Chow, penulis senior dalam riset ini, seorang profesor kedokteran di University of Sydney dan seorang ahli jantung di Rumah Sakit Westmead.
Penelitian ini menggunakan data dari registri sindrom koroner akut CONCORDANCE, yang mencakup 41 rumah sakit di seluruh Australia.
Hasilnya, perempuan kurang mendapatkan angiogram koroner (tes untuk menemukan penyumbatan di arteri koroner), kurang mendapatkan perawatan pencegahan setelah serangan jantung, dan cenderung dirujuk untuk rehabilitasi jantung.
"Jadi mereka cenderung kurang mendapat perawatan (yang tepat) dibandingkan pria," kata Profesor Chow.
Bias yang tidak disadari
Temuan ini memang tidak menyelidiki mengapa ada perbedaan perlakuan dalam menangani pasien pria dan wanita, terutama yang berkaitan dengan serangan jantung.
Namun, Profesor Chow menduga itu karena adanya pemikiran bias yang tidak disadari dapat berperan.
"Saya pikir itu karena pria dan layanan kesehatan mengakui peluang tinggi kaum pria untuk mengalami serangan jantung. Namun, mungkin ada persepsi yang menganggap wanita tidak mungkin memiliki serangan jantung," katanya.
"Padahal, penyakit kardiovaskular adalah penyebab utama kematian pada pria dan wanita. Bukan hanya untuk pria," jelasnya.
Baca juga: Kaki Varises Jangan Dipijat, Bisa Berujung ke Serangan Jantung
Sementara itu, Garry Jennings, seorang ahli jantung dan penasihat medis untuk Yayasan Jantung, mengatakan bias yang tidak disadari itu dapat meluas ke kalangan profesional medis.
"Jika seorang wanita datang dengan gejala yang bisa jadi serangan jantung, mereka cenderung berpikir bahwa itu tidak kuat disimpulkan sebagai diagnosis serangan jantung," kata Profesor Jennings.
"Kita harus melawan itu. Itu tidak benar. Banyak wanita juga memiliki penyakit jantung seperti halnya pria. Sebab itu, kita (tenaga medis) harus memastikan memberi perawatan terbaik," imbuhnya.
"Tidak ada perbedaan dalam protokol pengobatan berdasarkan gender. Gender tidak berlaku sama sekali," tegas Chow.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.