Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Terjebaknya Remaja Thailand, Kondisi Goa di Indonesia Sama

Kompas.com - 05/07/2018, 08:08 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Editor

KOMPAS.com - Kondisi goa-goa di Indonesia diperkirakan sama dengan di Thailand. Goa yang dimaksud adalah tempat terperangkapnya 12 remaja bersama pelatihnya selama sembilan hari sebelum akhirnya berhasil ditemukan.

Hal tersebut dijelaskan oleh Cahyo Alkantana, Presiden Asosiasi Wisata Goa Indonesia (Astaga) dan pemilik perusahaan wisata gua Jomblang Cave Resort, kepada wartawan BBC Indonesia, Liston P Siregar.

Kenyataannya adalah banjir di dalam goa disebabkan air hujan yang masuk terlalu banyak ke dalam sistem pergoaan. Hal ini juga sering kali terjadi pada goa di Indonesia.

Karena itu, goa tidak mampu lagi menampung atau mengalirkan air secara langsung dan kemudian tertahan di lubang-lubangnya.

"Kasus ini sama seperti dengan yang di Thailand. Pemain sepak bola itu kan lari ke atas dan menemukan satu ruangan yang lebih tinggi, yang saya kira kemungkinan pada posisi paling tinggi, Untungnya permukaan air tidak naik lagi. Mereka beruntung," jelas Cahyo yang melihat rekaman video dan foto-foto tentang ke-13 orang yang terperangkap di kompleks gua Tham Luang di Chiang Rai, Thailand utara.

Mereka terperangkap di dalam goa selama sembilan hari sebelum ditemukan dalam keadaan hidup, Senin (02/07) malam.

Namun, mereka mungkin harus menunggu air surut selama berbulan-bulan atau belajar menyelam agar bisa keluar dari goa, menurut militer Thailand.

Menurut pengamatan Cahyo, ada kesan para anak dan remaja di Thailand itu 'ceroboh' saat memasuki goa yang berair.

"Kalau saya lihat anak-anak itu tidak pakai helm, pakai sepatu bola. Itu sekelompok anak muda yang, maksudnya: 'ayo masuk-masuk yok' tanpa memakai peralatan. Mereka masih beruntung karena selama sembilan hari bertahan, ketersediaan pangan itu bagaimana saya tidak tahu, bisa survive (selamat)," tambah Cahyo.

Baca juga: Goa Bawah Air Terpanjang di Dunia Ungkap Jejak Suku Maya

Berbeda dengan tersasar di hutan -yang masih punya ketersediaan makanan darurat dari tanaman- maka di gua itu kemungkinan mendapatkan makanan amat kecil atau bahkan sama sekali tidak ada.

"Bagaimana mencari makanan. Kalau tidak ada lampu maka tidak bisa melangkah karena tangan di depan mata saja tidak bisa dilihat. Kita bergerak satu langkah saja bisa jatuh ke dalam air atau lubang."

Keprihatinan Masyarakat

Upaya penyelamatan belasan remaja Thailand yang terperangkap dalam gua segera mendapat perhatian masyarakat. Itu juga otomatis mendapat perhatian dari raja Thailand.

Raja Thailand mengajak rakyatnya untuk berdoa bersama agar belasan remaja yang terjebak dalam gua itu selamat.

Peristiwa ini juga mendapat peliputan luar biasa dari media online, cetak atau televisi, sehingga masyarakat merasakan kesedihannya.

Sebelum ditemukan, warga Thailand cukup was-was, karena sudah begitu lama para remaja tersebut menghilang. Ketika sudah ditemukan dalam kondisi selamat, mereka semua gembira.

Pemerintah Thailand juga melibatkan sekitar 1.000 orang, termasuk dari luar negeri, dalam proses penyelamatan para remaja ini.

Ini menjadi bukti betapa seriusnya otoritas negara ini. Apalagi, media sangat antusias meliput proses penyelamatan ini.

Semua pihak selalu mengikuti pemberitaannya karena mereka khawatir terhadap nasib belasan siswa tersebut. Pemberitaan gencar mendorong otoritas berusaha maksimal untuk menemukan mereka.

Baca juga: Siklon Cempaka dan Banjir Gunung Kidul, Apa Dampaknya bagi Biota Goa?

Masyarakat Thailand secara umum bersimpati karena upaya pencarian yang dilakukan pemerintah sangat serius, termasuk dengan melibatkan tenaga ahli dari negara lain.

Menariknya, masyarakat petani yang tinggal di sekitar gua merelakan sawahnya menjadi tempat penampungan air yang disedot dari dalam gua. Padahal, dengan begitu, sawah mereka menjadi rusak karena kebanyakan air.

Jadi bukan saling menyalahkan terkait keputusan sang pelatih yang membawa belasan anak melakukan perjalanan ke dalam gua. Hal itu bahkan tidak mendapat sorotan.

Standar Keselamatan

Sebagai pemilik perusahaan wisata penelusuran gua dan pimpinan asosiasi wisata, Cahyo Alkantana menegaskan bahwa sudah ada standar keselamatan yang baku di Indonesia, termasuk early warning system atau sistem peringatan dini.

Salah satunya adalah dengan memperhatikan yang disebut catchment area atau daerah tangkapan hujan di kawasan gua tersebut.

"Apabila hujan cukup lebat, itu kemungkinan besar permukaan air di catchment area itu akan naik, nah kita stop dulu tidak boleh ada kegaitan wisata penelusuran gua. Harus ditutup dengan tegas. Kalau diabaikan maka bisa terjadi kecelakaan," tutur Cahyo.

Selain itu pada musim hujan, penelusuran gua ditutup sama sekali. Ditambah lagi, diterapkannya pembatasan jumlah penelusur gua pada musim-musim tertentu, khususnya untuk gua-gua basah juga mengurangi risiko peristiwa semacam ini terjadi.

Cahyo menambahkan biasanya risiko kecelakaan terjadi di 'gua-gua liar' yang belum disurvei dan juga dalam penelusuran yang dilakukan oleh orang per orang.

Di Indonesia beberapa kali terjadi kecelakaan saat penelusuran gua, walau tidak semuanya disebabkan banjir.

Data dari Masyarakat Speleologi Indonesia (MSI) memperlihatkan banyak kecelakaan terjadi karena penelusur terjatuh maupun tertimpa bebatuan.

Peristiwa yang Sama

Namun tahun 2012, tiga anggota Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia (Hikespi) meninggal dunia saat mengikuti pendidikan lanjutan susur gua di Goa Seropan II, Gunungkidul, Yogyakarta.

Ketiganya meninggal dunia setelah terjebak banjir di dalam gua.

Seorang penelusur gua, Nafikurochman, mengatakan bahwa pengamatan musim amat penting sebelum melakukan penelusuran, khususnya pada musim peralihan.

"Waktu mendekati musim kemarau, kadang masih hujan kencang, nah itu yang harus kita antisipasi. Kita juga bisa pelajari siklus iklim dengan update yang terbaru," ujarnya.

Sebagai penelusur gua yang tergolong berpengalaman, yang sudah aktif sejak tahun 2000 lalu, dia juga pernah menghadapi risiko terancam banjir di sebuah gua di kawasan Gunung Kidul, Yogyakarta.

"Pada waktu itu mendekati akhir musim hujan di bulan Maret dan ketika terjadi hujan lagi ternyata ada sungai kecil yang tidak diprediksi, sehingga akhirnya terjadi luapan besar," kenang Nafikurochman.

Kepada para penelusur gua yang tergolong baru, dia menyarankan tiga hal:

1. Jangan mengabaikan musim.
2. Analisis guanya dan analisis risikonya.
3. Jangan terlalu semberono, jangan terlalu berani untuk eksplorasi gua tanpa informasi yang cukup.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau