Ini microchip yang sama yang puluhan tahun digunakan untuk melacak hewan dan paket barang.
Ada apa dengan Swedia?
Mengapa orang Swedia amat senang menanam microchip ke dalam tubuh mereka? Salah satu teori mengatakan, orang Swedia memang cenderung berbagi hal-hal personal akibat cara sistem keamanan sosial di Swedia dibentuk.
Mitos “naive Swede” (orang Swedia lugu), yang percaya begitu saja pada pemerintah dan lembaga nasional Swedia, adalah sebuah hal yang berlebihan—yang bahkan dicatat oleh kementerian luar negeri Swedia. Mitos itu tidak menjelaskan kebenaran seluruhnya.
Penjelasan yang lebih meyakinkan adalah fakta bahwa di Swedia, orang punya kepercayaan kuat terhadap hal-hal terkait digital. Orang Swedia punya kepercayaan mendalam terhadap potensi positif teknologi.
Selama 20 tahun terakhir, pemerintah Swedia telah berinvestasi banyak di infrastruktur teknologi—dan sekarang hasilnya mulai tampak. Ekonomi Swedia sekarang sebagian besar berbasis ekspor digital, layanan digital dan inovasi teknologi digital.
Dan Swedia telah menjadi salah satu negara paling berhasil sedunia dalam menciptakan dan mengekspor produk digital. Perusahaan kenamaan, seperti Skype dan Spotify, didirikan di Swedia.
Sebuah keyakinan terhadap teknologi digital dan sebuah keyakinan dalam potensinya telah berdampak kuat pada budaya Swedia. Dan ini menjadi fondasi gerakan transhumanis.
Faktanya, Swedia memainkan peran penting dalam pembentukan ideologi transhumanis. Yayasan transhumanis global Humanity+didirikan oleh orang Swedia Nick Bostrom pada 1998.
Sejak saat itu, banyak orang Swedia yang menjadi teryakinkan bahwa mereka harus mencoba meningkatkan dan memperbaiki tubuh biologis mereka.
Jadi, ketika orang sedunia terkejut melihat jumlah orang Swedia yang memasang microchip, kita harus memanfaatkan kesempatan ini untuk menggali lebih dalam mengenai hubungan erat Swedia dengan hal-hal terkait digital.
Sebab bagaimanapun, fenomena terbaru ini hanyalah sebuah manifestasi dari kepercayaan mendasar terhadap teknologi, yang membuat Swedia cukup khas.
*Lecturer in Digital Culture, Lund University
Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation