Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Debu Antariksa di Atmosfer Bumi Berusia Lebih Tua dari Matahari

Kompas.com - 13/06/2018, 19:34 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Penulis

KOMPAS.com - Baru-baru ini para ilmuwan menyatakan bahwa debu antariksa yang dikumpulkan dari atmosfer Bumi berusia lebih tua dari Tata Surya kita.

Para ilmuwan mengatakan, potongan halus debu antarbintang tersebut bisa mengajari kita tentang bagaimana planet dan bintang terbentuk dari awal.

Dalam laporan di jurnal Proceeding of National Academy of Sciences, partikel debu yang disebut dengan GEMS (kaca dengan logam dan sulfida tertanam) tersebut diyakini berasal daru komet.

Partikel-partikel kosmik ini diperkirakan setidaknya berusia 4,6 miliar tahun. Menurut komposisi kimianya, debu tersebut telah melakukan perjalanan melintasi jarak yang luar biasa.

Para ilmuwan percaya bahwa partikel-partikel yang terdiri dari silikat amorf, karbon, dan berbagai jenis es adalah bahan dasar tata surya kita.

Selama periode waktu yang panjang dan proses pembentukan yang intens, debu ini berubah menjadi planet yang kita kenal sekarang.

"Pengamatan kami menunjukkan bahwa partikel-partikel eksotis ini mewakili debu antarbintang pra-matahari yang bertahan hidup dan membentuk blok-blok bangunan planet dan bintang," kata Hope Ishii, pemimpin penelitian ini dikutip dari Newsweek, Senin (11/06/2018).

"Jika kita memiliki bahan awal pembentukan planet dari 4,6 miliar tahun lalu di ujung jari kita, itu mendebarkan dan memungkinkan pemahaman yang lebih dalam tentang proses-proses yang terbentuk dan sejak itu mengubah mereka," sambung peneliti dari University of Hawaii di Manoa tersebut.

Baca juga: Badai Debu Mars Hantam Robot Penjelajah Milik NASA

Partikel-partikel tersebut dikumpulkan menggunakan pesawat strastosfer milik NASA.

Menggunakan cahaya inframerah dan mikroskop elektron, para peneliti menganaisis komposisi kimianya.

Penggunaan mikroskop elektron ini disebabkan debu tersebut hanya berukuran beberapa ratus nanometer.

Artinya, partikel tersebut kurang dari seperseratus ketebalan rambut manusia.

Hasil analisisnya menunjukkan partikel ini awalnya menyatu di lingkungan yang dingin dan kaya dengan radiasi. Bahkan sejumlah kecil panas sudah cukup untuk memutus ikatan dalam debu tersebut.

Ini menunjukkan bahwa mereka terbentuk di suatu tempat seperti nebula matahari luar - awan debu, hidrogen, helium, dan gas terionisasi lainnya dari mana Tata Surya terbentuk.

"Kehadiran jenis spesifik karbon organik baik di daerah dalam dan luar partikel menunjukkan proses pembentukan terjadi sepenuhnya pada suhu rendah," kata Jim Ciston, salah satu peneliti dari Lawrence Berkeley National Laboratory dikutip dari Science Alert, Rabu (13/06/2018).

"Oleh karena itu, partikel debu antar-planet ini bertahan dari waktu sebelum pembentukan badan planet di Tata Surya, dan memberikan wawasan ke dalam kimia dari blok bangunan kuno," tambahnya.

Para peneliti berpendapat, beberapa jenis bahan organik lengket mungkin bertanggung jawab agar partikel ini menggumpal, dan akhirnya membentuk planet di tahun-tahun awal yang dingin dan kosong dari Tata Surya.

Baca juga: Meski Debu Bulan Tiruan Rusak DNA, Peluncuran ke Bulan Tetap Dilakukan

Sebenarnya masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan apa pun tentang apa yang terjadi hampir 5 miliar tahun lalu.

Meski begitu, para ilmuwan memiliki rencana untuk mempelajari partikel debu komet dalam lebih banyak.

Itu dilakukan untuk mencoba dan membuka kunci rahasia Tata Surya awal.

"Ini adalah contoh penelitian yang berusaha memuaskan dorongan manusia untuk memahami asal-usul dunia kita," kata Ishii.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com