Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Emosi Anak Terlalu Sensitif, Para Orangtua Wajib Waspada

Kompas.com - 07/06/2018, 19:34 WIB
Michael Hangga Wismabrata,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

Sumber EurekAlert

KOMPAS.com - Emosi yang sensitif pada anak-anak usia sekolah ternyata tidak bisa dipandang remeh. Kondisi itu menggambarkan apakah bagian otak yang berfungsi merespons pujian sudah bekerja dengan baik.

Iritabilitas dapat digambarkan sebagai keadaan emosi seseorang yang terlalu sensitif dalam merespons sebuah stimulus. Jika kondisi ini muncul saat Anda masih berusia sekolah atau pra-sekolah, menurut studi, hal ini adalah gejala awal gangguan mental saat beranjak dewasa. 

"Iritabilitas adalah salah satu gejala yang paling sering ditangani dan paling sering terjadi dalam gangguan emosional dan perilaku," kata Lea Dougherty, Ph.D, seorang psikolog klinis di Universitas Maryland College Park.

"Iritabilitas yang kronis pada anak usia sekolah dan remaja, memberi petunjuk adanya gangguan depresi dan kecemasan, bunuh diri, dan gangguan fungsional saat masa dewasa. Meskipun prevalensi dan peran sentral dalam perkembangan psikopatologi, patofisiologi iritabilitas, sebagian besar tidak diketahui," tambahnya.

Baca Juga: Bisakah Orang yang Suka Pura-pura Sakit Disebut Alami Gangguan Jiwa?

Penemuan yang terbit di Journal of American Academy of Child and Adolescent Psychiatry (JAACAP) pada bulan Juni 2018 ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru dalam melakukan perawatan dan pengobatan terhadap pasien gangguan mental. 

"Penemuan ini memberikan wawasan baru tentang sirkuit saraf otak berdasar iritabilitas dan selangkah lebih maju untuk menemukan tanda-tanda biologis untuk melakukan identifikasi awal serta pengobatan terhadap iritabilitas pada usia muda," tambah Dougherty yang dikutip dari Eurekalert, Senin (4/6/2018).

Penemuan tersebut didasarkan pada penelitian bertahap terkait risiko awal depresi pada anak-anak. Tingkat iritabilitas diteliti ketika mereka berada di usia 3,0-5,9 tahun dan 5,9-9,6 tahun.

Pada tahap lanjutan, para ahli meminta 46 anak yang 28 dari mereka adalah perempuan untuk melakukan tugas yang akan mendapat imbalan apabila hasilnya sesuai target atau tugas yang sama sekali tidak ada imbalannya.

Selama anak-anak melakukan tugas tersebut, para ahli memasang alat fMRI di kepala anak-anak untuk memantau proses di dalam otak mereka.

Baca Juga: Hiperseks, Gangguan Jiwa atau Bukan?

Hasilnya, anak-anak yang memiliki iritabilitas buruk di usia pra-sekolah menunjukkan perubahan koneksi dalam sistem saraf otak yang berfungsi merespons imbalan.

Amigdala sebelah kanan mereka dengan insula dan lobus parietal inferior, begitu juga dengan bagian striatum ventral kiri dengan lingual gyrus dan gyrus pasca sentral, lobus parietal superior dan culmen.

Sementara itu, ada persamaan pola perubahan koneksi antara amigdala kiri dan kanan, gyrus frontal superior dan striatum ventral kiri, precuneus dan culmen, ketika para ahli mengamati banyak sedikitnya perilaku yang dilakukan anak di usia pra-sekolah. 

Perbedaan juga terlihat dalam respons saraf otak ketika anak-anak dalam kondisi mendapat imbalan dan tidak mendapat imbalan saat target tugas tidak tercapai.

Penemuan ini menegaskan bagaimana sirkuit sistem saraf yang berfungsi untuk merespons imbalan mungkin berubah pada usia dini dengan peningkatan iritabilitas selama masa usia pra-sekolah atau sudah masuk sekolah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau