Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sisa Lahar Purba dan Gempa Ungkap Jejak Peradaban Mataram Kuno

Kompas.com - 30/05/2018, 17:31 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Terhimpit empat lempeng bumi menjadikan Indonesia negara rawan bencana, khususnya gempa. Himpitan ini juga melahirkan deretan pegunungan dan ratusan gunung api yang aktif meletus secara periodik.

Gempa atau letusan gunung api bisa terjadi dalam skala begitu besar, sampai menghancurkan dan mengubur suatu peradaban. Sejarah membuktikannya dan salah satu peradaban itu adalah Mataram Kuno atau dikenal sebagai Medang tertutup.

Pada masanya, peradaban Medang telah membangun banyak candi di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Beberapa di antaranya adalah candi Kalasan, Prambanan, Sambisari, Kedulan, dan  candi Borobudur yang dibangun saat pemerintahan Wangsa Syailendra.

Dalam penjelasan ahli geolongi kuarter dari Universitas Gadjah Mada Didit Hadi Barianto di Museum Sonobudoyo Yogyakarta, Jumat (25/5/2018), beberapa candi besar seperti Prambanan dan Borobudur dibangun di zona patahan.

Baca juga: Teka-teki Runtuhnya Peradaban Suku Maya Terungkap

Zona patahan itu menimbulkan gempa besar yang menyebabkan hilangnya jejak peradaban Medang.

Berikut rangkuman penjelasan Didit dalam diskusi bertema "Proses Geologi yang Menutup Jejak Peninggalan Keraton Medang Abad VIII-X Masehi".

1. Candi Borobudur

Candi berbentuk stupa ini didirikan pemeluk agama Budha sekitar abad ke-8 M, saat masa pemerintahan wangsa Syailendra.

Saat Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles menemukan candi Borobudur pada 1814, kondisinya rusak parah.

Sebelum direstorasi, candi Borobudur rusak parah. Sebelum direstorasi, candi Borobudur rusak parah.

Jauh berbeda dengan Borobudur yang kita lihat sekarang, banyak puing-puing stupa jatuh berhamburan. Candi tak nampak berdiri tegak, tapi bergelombang.

"Kalau saya lihat sekilas foto sebelum restorasi, kerusakannya lebih banyak diakibatkan oleh deformasi bumi. Bisa kita lihat patung naik ke atas, ada yang miring ke samping," ucap Didit mengomentari foto di atas.

Ia yakin, kerusakan Borobudur lebih banyak disebabkan oleh gempa tektonik akibat pergerakan lempeng bumi.

"Bukan karena vulkanik. Walaupun ada putih-putih yang menempel akibat abu vulkanik, tapi secara kerusakan struktur candinya lebih diakibatkan oleh gempa," tegasnya.

Terkait candi Borobudur, Didit pernah menganalisis sampel batu candi Borobudur akibat reruntuhan gempa bersama Profesor Jepang.

Dalam analisisnya ia menemukan fakta tentang asal usul batuan Borobudur.

"Dulu orang berpikir batu yang ada di Borobudur diambil dari gunung Merapi dan Menoreh. Batuan dari Merapi dan Menoreh namanya andesit, sedangkan sampel yang saya teliti kandungannya basal," ungkapnya.

Batuan basal hanya dapat dijumpai di daerah Jawa Timur.

Ia menduga, saat itu Syailendra yang memiliki banyak daerah jajahan meminta untuk mengirim patung atau ornamen dari daerah jajahannya, yakni Jawa Timur ke Borobudur.

2. Candi Kedulan

Berbeda dengan candi Borobudur, candi Hindu Kedulan yang letaknya tidak jauh dari Candi Sambisari di Kalasan, Yogyakarta, disebut Didit memiliki riwayat lebih kompleks.

Seperti candi Sambisari, candi Kedulan juga terletak di bawah permukaan tanah.

"Tahu 2003 saya diminta ke sana (candi Kedulan) oleh dosen saya. Di atas lantai candi, saya menemukan paleosoil atau tanah purba. Jadi paleosoil ini ada di lantai dan sebagian dindingnya," kata Didit mengawali penjelasannya tentang candi Kedulan.

Menurut dugaan Didit, adanya tanah di lantai candi menunjukkan candi tersebut sudah ditinggalkan oleh masyarakat sebelum hancur.

"Karena candi itu tempat suci, pasti selalu dibersihkan. Kalau sampai ada tanah di sana, berarti lantai tidak dibersihkan yang membuat tanah menumpuk dan ditumbuhi rumput. Lambat laun bangunan hancur dan akhirnya tertutup lahar. Kira-kira  begitu kalau kita lihat dari bentuk sedimennya," terang Didit.

Baca juga: Peninggalan VOC Ditemukan di Sekitar Candi Borobudur, Seperti Apa?

Lalu mengapa candi ini ditinggalkan masyarakatnya?

Untuk menjawab pertanyaan itu, Didit memiliki dua kemungkinan.

Pertama, dalam penelitiannya Didit tidak hanya menemukan paleosoil tetapi juga karbon atau arang yang berasal dari kayu muncul di batuan candi.

Dari temuan arang ini, Didit menduga candi sengaja dibakar. "Mungkin ada konflik antara Hindu-Budha, sehingga candi (Kedulan) dibakar," ungkapnya.

Candi Kedulan ditinggalkan masyarakat terlebih dahulu sebelum akhirnya diterjang lahar. Candi Kedulan ditinggalkan masyarakat terlebih dahulu sebelum akhirnya diterjang lahar.

Dugaan kedua, adanya endapan lahar purba di siku dinding candi memunculkan dugaan candi itu dulunya dibangun dekat aliran sungai.

Didit menganalisis, sungai itu telah melebar dan semakin dekat ke candi.

Mungkin, masyarakat sekitar candi Kedulan telah meninggalkan kawasan tersebut sebelum aliran sungai semakin melebar. Dengan kata lain, ada upaya menyelamatkan diri dari warga.

"Lahar itu mengalir di sungai. Artinya ada sungai yang mengalir dari utara ke selatan, kemudian berbelok dari barat ke timur. Artinya candi dibangun di tepian sungai," katanya.

"Bangunan termasuk candi yang dibangun di tepi sungai akan sangat rentan tertejang luapan sungai termasuk lahar. Itulah yang terjadi di Kedulan," imbuh Didit.

Dilihat dari jatuhan puing-puing bangunan yang tidak jauh dari tempatnya, Didit yakin hal itu diakibatkan oleh ulah manusia atau gempa. Mengingat juga ditemukan sisa karbon purba di sana.

Baca juga: Mengapa Festival Rock Dilarang di Candi Prambanan?

Menurut Didit, candi Kedulan dan Sambisari memiliki kemiripan, keduanya sama-sama dibangun dekat tepian sungai.

Selain itu, candi Sambisari dan Kedulan yang berada di bawah permukaan tanah juga menjadi bukti bahwa tanah di pulau Jawa khususnya Jawa Tengah telah terangkat ke atas sebagai akibat pergerakan lempeng.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com