KOMPAS.com - Pratik pertanian dan polusi merkuri di Amerika Serikat kini menyebabkan semakin banyak kura-kura air tawar (commont snapping turtle/cst) yang menetas sebagai pejantan.
Sebagai informasi, jenis kelamin kura-kura memang ditentukan oleh kondisi telur mereka saat berkembang.
Sebelumnya, ketimpangan jenis kelamin juga terjadi pada kura-kura laut di Samudra Pasifik. Di wilayah tersebut, sebagian besar telur yang menetas menjadi kura-kura betina.
Para peneliti menyebut hal ini adalah efek pemanasan global.
Baca juga: Terlalu Dikagumi Manusia, Kura-kura Bergaya Punk Terancam Punah
Sedangkan kasus di AS, tim ilmuwan menemukan efek pendinginan dari penggunaan lahan pertanian yang dikombinasikan dengan efek kimia pencemaran merkuri mempengaruhi demografi kura-kura.
"Pekerjaan kami menggambarkan bagaimana aktivitas manusia yang dilakukan rutin bisa memiliki efek samping yang tak terduga bagi satwa liar," ungkap Profesor William Hopkins, ahli konservasi satwa liar di Virginia Tech dikutip dari The Independent, Kamis (03/05/2018).
Profeor Hopkins juga menjelaskan, mereka menemukan pergeseran jumlah jenis kelamin yang cukup kuat. Dalam hal ini jumlah kura-kura jantan yang menetas lebih banyak dibanding betina.
Menurutnya, ini disebabkan oleh interaksi dua perubahan global yang paling umum di bumi, yaitu polusi dan pertanian.
Dengan penggunaan lahan pertanian, sarang kura-kura jenis CST menjadi lebih sejuk. Akibatnya, lebih banyak telur yang menetas menjadi pejantan.
Ketika akan membangun sarang, biasanya kura-kura betina memang lebih tertarik pada lahan pertanian terbuka dan cerah. Itu karena musim bertelur mereka terjadi di musim panas.
Sayangnya, menurut Hopkins, ini adalah langkah yang buruk.
"Hasil kami menunjukkan bahwa kura-kura lebih tertarik untuk membuat sarang alami di habitat lahan pertanian, dan pilihan ini memiliki konsekuensi untuk kesuksesan reproduksi mereka," ujar Hopkins.
Baca juga: Hanya 3 Kura-kura Tempurung Lunak Yangtze yang Tersisa di Dunia
Fenomena ini juga disebabkan karena tanaman padat bertunas dengan cepat sepanjang musim panas. Tanaman-tanaman pertanian itu kemudian dengan cepat membuat teduh sarang kura-kura snapping.
Inilah yang kemudian menghasilkan ketimpangan jenis kelamin pada telur kura-kura yang berhasil menetas.
Para peneliti juga menemukan bahwa efek ini diperparah oleh polusi merkuri di sepanjang Sungai Selatan Virginia.
Merkuri sebelumnya telah diketahui mempengaruhi reproduksi reptil. Tapi, baru kali ini, mereka menemukan polusi merkuri mempengaruhi rasio jenis kelamin.
Dalam laporan di jurnal Biological Conservation, peneliti menemukan tingkat merkuri yang lebih tinggi dalam darah induk kura-kura berkaitan dengan jumlah kura-kura jantan yang menetas.
Dengan kata lain, ini memperparah pengaruh suhu pada penetasan kura-kura.
Menurut Hopkins, populasi kura-kura sangat sensitif terhadap ketimpangan rasio jenis kelamin, lebih banyak jantan. Hal ini yang bisa menyebabkan penurunan populasi pada kura-kura jenis ini.
"Interaksi yang tidak terduga ini menimbulkan kekhawatiran baru yang serius tentang bagaimana satwa liar menanggapi perubahan lingkungan karena kegiatan manusia," ujar Hopkins.
Baca juga: Terungkap, Inilah Alasan Sebenarnya Kura-kura Punya Tempurung
"Mereka juga menambahkan lapisan tambahan kompleksitas ke proyeksi perubahan iklim saat ini," tutupnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.