Keterpurukan ini “difasilitasi” oleh regulasi negara yang tidak sensitif gender, yakni Pasal 7 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang membolehkan perempuan menikah pada usia 16 dan laki-laki pada usia 19 tahun. Kalau kurang dari usia itu, seperti kasus di Bantaeng, orang tua mempelai dapat meminta dispensasi umur nikah ke pengadilan dan tragisnya hakim mengabulkan.
Dengan melegalkan perkawinan anak perempuan 16 tahun, posisi perempuan dalam perkawinan (dengan segala implikasinya) di era digital ini hanya sedikit bergeser dari era Kartini, 118 tahun lalu. Kala itu, Kartini, yang menikah pada usia 24 tahun, meninggal tiba-tiba empat hari setelah melahirkan. Tidak ada catatan tentang penyebabnya, namun bila mencermati kronologis menjelang kematiannya, kemungkinan kematian itu disebabkan oleh preeklamsia. Saat ini, preeklamsia merupakan penyebab kematian ibu tertinggi di Indonesia. Bahkan seorang pejuang emansipasi harus berujung pada kematian ibu pasca melahirkan.
Risiko berlipat ganda nikah muda
Perempuan yang menikah sangat muda akan memiliki risiko perceraian yang lebih tinggi ketimbang yang menikah pada usia dewasa. Angka perceraian antara usia 20-24 tahun lebih tinggi pada yang menikah sebelum usia 18 tahun, dan cenderung meningkat dari tahun 2013-2015, baik di kota maupun di desa dan sering berakhir sebagai istri kedua atau ketiga, karena secara ekonomi mereka tidak mampu menghidupi anak-anaknya.
Ketidakberdayaan dan inferioritas perempuan dalam ekonomi akan menghalangi mereka untuk mendapatkan hak yang terbaik, bahkan untuk kesehatannya sendiri.
Anak perempuan yang telah menikah juga menghadapi masalah dalam pendidikannya. Mereka terpaksa putus sekolah karena peraturan sekolah tidak membolehkan mereka masuk ke ruang kelas. Lebih dari 90 persen perempuan usia 20-24 tahun yang pernah menikah (karena pernikahan dini) tidak lagi bersekolah. Situasi ini menambah lebar gap gender yang terjadi dalam hak untuk mendapatkan pendidikan.
Karena itu, pemerintah seharusnya serius mempertimbangkan isu-isu gender ketika mengeluarkan kebijakan kesehatan yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak. Sayangnya, uji materi terhadap UU Perkawinan untuk menaikkan batasan usia nikah perempuan menjadi 18 tahun telah ditolak oleh Mahkamah Konsitusi.
Budaya dan tradisi dalam masyarakat yang jelas merugikan kesehatan perempuan dan anak, tidak akan dapat diselesaikan tanpa intervensi regulasi yang sensitif gender.
Baca juga: Edukasi Kesehatan Reproduksi Cegah Pernikahan Anak di Bawah Umur
*Dosen dan dokter di Departemen Obstetri Ginekologi, Universitas Hasanuddin
Artikel ini telah tayang di The Conversation
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.