Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Heboh Isu Gelombang Panas Ancam Indonesia, BMKG Beri Penjelasan

Kompas.com - 20/04/2018, 18:57 WIB
Michael Hangga Wismabrata,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

Sumber BMKG

KOMPAS.com - Isu soal Indonesia dalam ancaman gelombang panas yang mematikan, dibantah Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG). Ancaman gelombang panas di Indonesia belum terbukti secara ilmiah. 

Berita yang dimuat dalam situs sebuah media online itu ditanggapi dengan 5 poin dalam keterangan resmi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), yang diterima Kompas.com pada Jumat (20/4/2018).

Pada poin pertama dan kedua, BMKG menegaskan bahwa berita tesebut merupakan berita daur ulang yang sudah terbit pada 20 Juni 2017 lalu.

Artikel berita tersebut dibuat berdasarkan makalah ilmiah karya Camilo Mora et al, dari Universitas Hawai, yang berjudul "Global risk of deadly heat", yang terbit pada jurnal Nature Climate Change pada 19 Juni 2017.

Menurut BMKG, pemberitaan tersebut terkesan bombastis dan tidak relevan dengan kajian ilmiah Mora. Dalam makalahnya, Mora menjelaskan dampak gelombang panas secara global, dan tidak menyebut secara khusus nama Indonesia.

Mora mengkaji data dari peristiwa gelombang panas yang terjadi di Eropa dan Amerika Utara, sebagian kecil India, China dan Australia.

BMKG menjelaskan Indonesia juga tidak dimasukan oleh Mora dalam melakukan kajian data peristiwa gelombang panas mematikan yang terjadi antara tahun 1980-2014.

Selain itu, BMKG menginformasikan bahwa gelombang panas yang berujung kematian belum pernah terjadi di Indonesia.

Baca Juga: Gelombang Panas Lucifer Menyerang, Suhu Eropa Capai 44 Derajat Celcius

Batas atas (threshold) suhu dan kelembaban udara yang digunakan Mora dalam makalah juga belum pernah dikaji secara ilmiah dampaknya bagi masyarakat di Indonesia.

Secara singkat makalah tersebut membahas tentang penurunan kemampuan manusia untuk bertahan dari panas yang diakibatkan kenaikan temperatur suhu karena perubahan iklim.

Dalam makalah tersebut, Mora dan timnya menggunakan data bencana gelombang panas yang terjadi antara tahun 1980 hingga 2014 yang berujung jatuhnya korban jiwa. Saat itu, terdapat 783 kasus gelombang panas di 164 kota dari 36 negara.

Berdasarkan hal tersebut, Mora dan timnya mencoba menghitung indeks batas atas secara umum pada suhu harian udara permukaan dan kelembaban udara (RH) saat gelombang panas mematikan itu terjadi.

Hasilnya, 30 persen penduduk bumi saat ini terpapar oleh suhu harian udara permukaan dan kelembaban udara yang sama saat gelombang panas mematikan itu terjadi. Menurut para peneliti, manusia di bumi akan terpapar setidaknya 20 hari dalam setahun.

Mora dan timnya juga memproyeksikan kondisi iklim pada akhir abad 21 (2090 - 2100) akan terjadi peningkatan dari 30 persen menjadi ~48 persen dibawah skenario penurunan drastis pengendalian emisi Gas Rumah Kaca (GRK) (RCP2.6) dan ~74 persen di bawah skenario pertumbuhan emisi GRK tanpa pengendalian (RCP8.5).

Hal tersebut meningkatkan ancaman bagi kehidupan manusia karena terjadi peningkatan suhu global yang berdampak besar apabila bila emisi Gas Rumah Kaca tidak dikurangi, meskipun saat ini belum ada dampak nyata pada manusia.

Baca juga : Perubahan Iklim Akan Paksa 143 Juta Orang untuk Pindah

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau