Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inilah Fosil Bayi Burung "Paling Langka dari yang Langka"

Kompas.com - 10/03/2018, 12:35 WIB
Michael Hangga Wismabrata,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

Sumber BBC

KOMPAS.com - Para peneliti mengungkapkan hasil penelitian mereka terhadap fosil bayi burung yang ditemukan di Las Hoyas, Spanyol, beberapa tahun lalu.

Bayi burung berusia 127 juta ini disebut sebagai "paling langka dari yang langka" oleh para peneliti karena fosil burung pada masa tersebut, terutama yang masih bayi, sangat sulit untuk ditemukan. 

Dengan panjang dari hidung ke ujung ekor yang tidak lebih dari jari kelingking manusia, dan berat yang hanya sekitar 10 gram; fosil ini juga menjadi salah satu fosil terkecil yang pernah ditemukan.

Baca Juga: Seperti Manusia, Burung Gelatik Biru Juga Bisa Ceraikan Pasangannya

Burung ini termasuk dalam keluarga Enantiornithine yang hidup 66-250 juta tahun yang lalu. Ia memiliki penampilan yang tidak jauh berbeda dari burung modern, tetapi dilengkapi dengan gigi dan cakar pada masing-masing sayapnya.

RAUL MARTIN Bayi burung ketika masih hidup

"Sangat menakjubkan ketika menyadari bahwa banyak fitur burung modern telah berkembang lebih dari 100 juta tahun lalu," kata Luis Chiappe, dari Museum Sejarah Alam LA.

Dalam penelitian tersebut, para ilmuwan menggunakan teknik pemetaan unsur dan mikrotomografi sinkrotron pada fosil. Sinkrotron adalah partikel akselerator dengan menggunakan cahaya sangat intens untuk mempelajari sebuah fosil atau materi.

Baca Juga: 22 Tahun Jadi Koleksi Pribadi, Fosil Predator Laut Purba Diungkap Ahli

Hasilnya, tulang dada yang berada di tengah dada masih berupa tulang rawan, belum berubah menjadi tulang yang keras. Para peneliti menduga fosil tersebut merupakan fosil seekor bayi burung purba yang mati beberapa menit setelah menetas.

"Teknologi baru tersebut menawarkan sebuah cara yang belum pernah digunakan sebelumnya untuk menyelidiki fosil kepada ilmuwan," Fabien Knoll, peneliti utama dari ARAID-Dinopolis dan Universitas Manchester, dikutip dari BBC, Senin (5/3/2018).

"Sejujurnya, teknik tersebut belum dikembangkan ketika fosil tersebut ditemukan," tambahnya.

Penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal Nature Communications.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau