Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Marak Kasus "Pelakor" Jelang Hari Perempuan Internasional, Apa Artinya?

Kompas.com - 08/03/2018, 23:11 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Penulis

Selain itu, Very juga menjelaskan bahwa laki-laki bukan barang yang bisa dengan mudah direbut. Ini yang menjadikan istilah pelakor tidak tepat disematkan pada perempuan.

Namun kini yang menjadi pertanyaan besarnya adalah apa alasan dibalik perempuan lebih memilih menyalahkan perempuan lain dibanding laki-laki?

Kesadaran Gender

Menanggapi pertanyaan tersebut, Harti menyebut bahwa mungkin salah satu alasannya adalah kurangnya kesadaran gender di Indonesia.

"Akarnya adalah cara pandang masyarakat terhadap relasi antara laki-laki dan perempuan yang masih sangat bias gender," katanya.

"Sehingga melihat persoalan seperti itu, yang mendapatkan stigma lebih awal bukan pelaku laki-laki tapi justru pelakor-nya itu sendiri," tambahnya.

Banyak Faktor

Menurut Harti, ada banyak faktor mengapa perempuan merasa lebih mudah untuk menyalahkan perempuan lain. Salah satunya ketergantungan perempuan, dalam hal ini istri, terhadap laki-laki (suami).

"Bisa jadi seperti itu. Pada korban kekerasan terutama yang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), biasanya mereka (perempuan) enggan untuk meninggalkan relasinya yang penuh dengan kekerasan," ujar Harti.

"Biasanya mereka menginginkan kkeerasan berhenti tanpa memutuskan relasi berpasangannya dengan suaminya, artinya dia tidak memilih untuk bercerai," sambungnya.

Harti juga menjelaskan, salah satu faktor yang mungkin adalah perempuan hanya memilih untuk tetap bersama suaminya tanpa mencari solusi untuk menyelesaikan masalah kekerasannya (perselingkuhan).

Baca juga: Benarkah Wanita Tak Menarik Cenderung Melakukan Perselingkuhan?

"Ada banyak faktor yang melatarbelakangi seperti itu. Biasanya karena pemahaman di kalangan perempuan sendri yang masih sangat bias gender," ujar Harti.

Maksud pemahaman yang masih bias gender di sini menurut Harti adalah perempuan yang mengamini peran gender tradisional yaitu atau perempuan sebagai makhluk nomor dua, harus taat pada suami, dan lain sebagainya.

"Itu yang sebetulnya yang menjadi akarnya," tegas Harti.

Pendapat ini juga dibenarkan oleh Very. Dia menjelaskan bahwa selama ini, perempuan di Indonesia dididik untuk bersikap lemah lembut, sedangkan laki-laki dididik untuk berani berkelahi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com