KOMPAS.com - Hari Perempuan Internasional diperingati hari ini, Kamis (08/03/2018). Sayangnya, menjelang perayaan hari perempuan ini, media massa dan media sosial diramaikan dengan fenomena maraknya istri melabrak perebut (le)laki orang (pelakor).
Berbagai video tentang perkelahian dua perempuan yang di narasikan sebagai istri yang melabrak permpuan lain (pelakor) tiba-tiba mendapat tempat tersendiri di masyarakat Indonesia.
Bahkan, perkelahian di tempat umum pun menjadi hal biasa. Mulai dari adu mulut hingga adu otot terjadi. Lokasinya pun bermacam-macam, dari tempat kerja hingga jalan raya.
Fenomena ini tentu menjadi sebuah tanda tanya tren apa yang melatarbelakangi perempuan "menyerang" perempuan lain yang dianggap bersalah.
Baca juga: Apa Kata Ahli Linguistik soal Pelakor?
Harti Muchlas, direktur Rifka Annisa, sebuah organisasi yang bergerak dalam perlindungan perempuan menyatakan miris terhadap fenomena tersebut.
"Saya sangat miris di media sosial itu, isu pelakor itu menjadi sangat viral. Kemudian perempuan saling bertikai satu sama lain. Dan dia (pelakor) mendapatkan stigma karena perilaku yang dilakukannya, merebut suami orang," ungkap Harti kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Rabu (07/03/2018).
"Tetapi masyarakat dan perempuan itu sendiri lupa bahwa sejatinya laki-laki di sini terbebas dari tuntutan sosial dari perilaku yang dia lakukan, melakukan kekerasan terhadap pasangannya," tegas Harti.
Hal ini juga yang menjadi perhatian Harti. Dia menyebut bahwa selama ini masyarakat menjadi tidak adil terhadap perempuan.
Stigma Perempuan
"Perempuan mendapat stigma berkali-kali lipat sementara laki-laki yang harus bertanggung jawab terhadap perilaku kekerasannya itu tidak mendapatkan perhatian yang serius dari masyarakat," ujarnya.
"Laki-laki terbebas dari kesalahan dan juga stigma masyarakat bahwa perilaku yang dilakukannya adalah salah," imbuhnya.
Karena ketimpangan stigma tersebur, Harti menjelaskan yang perlu dilakukan saat ini adalah mengeduksi masyarakat.
"Perbuatan perselingkuhan itu adalah salah. Dan laki-laki juga harus menjadi pihak yang juga dimintai pertanggungjawabannya atas perilaku kekerasan (perselingkuhan termasuk kekerasan terhadap pasangan) yang dia lakukan," kata Harti.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Very Handayani, aktivis teater yang sering menyuarakan isu-isu perempuan. Dia menjelaskan bahwa penggunaan kata pelakor mungkin tidak tepat.
Menurutnya, dalam hal ini, pelaku perselingkuhan bukan hanya pihak perempuan, tapi lelaki juga turut andil dalam hal tersebut.
Baca juga: Dalam Kasus Perselingkuhan, Kenapa Wanita yang Sering Disalahkan?