KOMPAS.com - Dunia sedang harap-harap cemas. Pasalnya, Stasiun Luar Angkasa China pertama, Tiangong-1, akan jatuh ke bumi dalam hitungan beberapa minggu saja.
Pada 2016, China mengaku telah kehilangan kendali atas Stasiun Luar Angkasa mereka. Sejak itu pula berita soal Tiangong-1 jadi sorotan. Sebab bukan hanya kapan wahana antariksa ini jatuh, tetapi di mana titik jatuh Tiangong-1 masih sulit diprediksi.
Kabar terbaru dari Badan Antariksa Eropa menyebut jika modul seberat 8,5 ton ini akan menghantam bumi antara 24 Maret dan 19 April. Sementara itu, Aerospace, organisasi penelitian di bidang konsultasi penerbangan luar angkasa, menyebut jika Tiangong-1 memasuki atmosfer pada minggu pertama bulan April.
Baca juga : Lepas Kendali, Stasiun Luar Angkasa China Diprediksi Bakal Jatuh ke Bumi
Ini jadi masalah karena ada kekuatiran jika puing-puing Tiangong-1 tidak hancur seluruhnya saat menabrak atmosfer dan beberapa bagian kecil akan jatuh ke bumi.
Bukan hanya itu saja, Aerospace memperingatkan bahwa stasiun luar angkasa tersebut mungkin membawa bahan bakar yang beracun dan korosif, yakni hydrazine.
Untungnya, perusahaan berbasis di Amerika Serikat ini memuat peta yang menunjukkan perkiraan jatuhnya modul. Mereka memperkirakan modul akan jatuh di suatu tempat di antara 43 derajat utara dan 43 derajat lintang selatan.
Wilayah dalam cakupan itu antara lain China utara, Timur Tengah, Italia tengah, Spanyol utara dan negara bagian utara Amerika Serikat, Selandia Baru, Tasmania, sebagian Amerika Selatan dan Afrika bagian selatan.
Meski begitu, masuknya puing ke bumi tidak perlu jadi hal yang terlalu dikuatirkan. Aerospace mengungkapkan jika kemungkinan puing-puing tersebut menimpa orang di negara-negara yang disebut di atas sangat kecil.
"Kemungkinan bahwa ada orang yang akan terkena puing Tiangong-1 ini sangat kecil," ungkap Aerospace dikutip dari The Guardian, Selasa (6/3/2018).
"Dalam sejarah penerbangan luar angkasa, belum diketahui orang yang terkena dampak merugikan dari jatuhnya puing-puing luar angkasa ini. Hanya satu orang yang pernah tercatat terkena jatuhan puing dan untungnya dia tidak terluka," tambah mereka lagi.
Baca juga : Lika-Liku Astronot Perempuan jika Menstruasi di Luar Angkasa
Rupanya argumen itu bertentangan dengan pendapat Jonathan McDowell, astrofisikawan dari Universitas Harvard. Ia mengingatkan untuk terus mengawasi Tiangong-1 sebab ukurannya yang besar dan padat.
Apalagi menurut dia, jatuhnya Tiangong-1 tidak bisa dipredisksi secara detail. Beberapa bulan terakhir, kecepatan meluncur stasiun luar angkasa ini berubah-ubah.
Bulan-bulan ini, kecepatan luncurnya meningkat dan kini sedang jatuh dengan kecepatan sekitar 6 kilometer seminggu. Sementara itu, bulan Oktober lalu kecepatan luncurnya 1,5 kilometer seminggu.
Jadi sulit diprediksi kapan modul bisa mendarat karena kecepatannya dipengaruhi oleh 'cuaca' yang terus berubah di luar angkasa.
"Saya memprediksi bahwa beberapa potong puing akan bertahan masuk kembali ke bumi. Tapi kita hanya tahu di mana mereka akan mendarat setelah kejadian," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.