BRISBANE, KOMPAS.com – Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah lajang atau orang yang belum menikah mengalami tren peningkatan dalam empat dekade terakhir.
Sensus BPS pada 2010 menyebut 1 dari 14 orang berusia 30-39 tahun belum pernah menikah. Dan jumlah itu diprediksi meningkat pada sensus berikutnya: 2020.
Merujuk pada data tersebut, seorang kandidat doktor dari University of Queensland Australia, Karel Karsten Himawan dalam risetnya mengungkap bahwa ternyata mayoritas lajang di Indonesia mengalami kondisi tertekan.
"Menurut studi awal, 9 dari 10 lajang merasakan tekanan dari orang tua, keluarga besar dan teman," kata Karel kepada Kompas.com di Brisbane, Jumat (9/2/2018).
Karel memaparkan sejumlah pandangan publik secara umum terkait lajang yang bisa membuat lajang tertekan.
"Misalnya, publik mahfum bahwa kerap ada masalah dalam pernikahan. Namun dalam kasus lajang, seringkali yang dipercaya bahwa lajang itu sendiri adalah masalah," ujar Karel.
Pandangan lainnya memunculkan stigma terhadap lajang perempuan lebih sering muncul ketimbang laki-laki. Misalnya, kata dia, kosakata "jomblo" yang kini menjadi sebutan bagi mereka yang melajang.
Kata tersebut berasal dari kata "jomlo" yang menurut KBBI berarti gadis tua.
Baca juga : Menyusui Bukan Cuma Urusan Ibu-ibu, Lajang Ini Jadi Ketua AIMI
"Di sisi lain, laki-laki berusia 30 tahun ke atas yang belum menikah justru sering mendapat stigma positif karena dianggap mempersiapkan diri untuk kehidupan keluarga yang mapan," tutur dia.
"Involuntary singles"
Dalam risetnya, Karel menemukan kesimpulan awal bahwa mayoritas lajang di Indonesia tergolong involuntary singles atau lajang yang bukan pilihan hidup.
Itu dilihat dari data yang menunjukkan bahwa mayoritas lajang di Indonesia atau 83,2 persen memiliki sikap positif terhadap pernikahan.
"Mereka punya motivasi untuk menikah yang lebih daripada sekadar memenuhi tuntutan lingkungan," ujar Karel.
Menurut dia, ada beberapa faktor yang menyebabkan jumlah lajang di Indonesia, khususnya involuntary singles, meningkat.
Salah satunya adalah tradisi menikah hipergami. Tradisi tersebut berpendapat bahwa lelaki yang menikah idealnya memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi ketimbang perempuan yang dinikahinya.
"Di sisi lain, modernisasi dan kesetaraan peran gender berdampak pada semakin banyaknya jumlah perempuan yang berkarier serta mengikuti pendidikan tinggi," tutur Karel.
Ini dibuktikan dengan data BPS pada 2016 yang menunjukkan bahwa proporsi perempuan yang menamatkan SMA 2,03 persen lebih tinggi daripada laki-laki.
Lalu, proporsi perempuan yang menamatkan studi di perguruan tinggi juga lebih tinggi: 0,35 persen.
"Padahal proporsi jumlah lelaki dan perempuan di usia tersebut diperkirakan cukup berimbang, berdasarkan data sensus BPS untuk usia 15-19 tahun," jelas Karel.
Lalu, dalam 15 tahun terakhir, partisipasi perempuan di dunia kerja juga ditemukan meningkat 9,5 persen daripada laki-laki.
Karel mengatakan kurangnya ketersediaan calon pasangan bukan menjadi alasan bagi para lajang.
Itu ditunjukkan dengan data BPS 2010 yang mengungkap bahwa proporsi lelaki dan perempuan usia 20 tahun ke atas relatif seimbang. Perempuan berjumlah 50,24 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.
Baca juga : Takut Hidup Sendiri Usai Putus Cinta? Ini Yang Terjadi Menurut Sains
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.