Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenapa Penentuan 1 Syawal Tak Semudah Prediksi Super Blue Blood Moon?

Kompas.com - 31/01/2018, 18:30 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Penulis

KOMPAS.com - Gerhana bulan total akan menyapa Indonesia nanti malam, Rabu (31/01/2018). Berita tentang gerhana bulan total ini bahkan sudah mulai diberitakan sekitar 1-2 bulan lalu.

Dengan kata lain, fenomena langit tersebut sudah dapat diprediksi dari jauh-jauh hari. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan, jika gerhana bulan bisa diprediksi jauh-jauh hari lalu mengapa sering kali muncul perdebatan tentang penentian awal bulan Ramadhan atau Syawal?

Ditemui seusai mengisi seminar "Menalar Ayat-ayat Semesta, Mengintip Ayat-ayat Langit" pada Rabu (31/01/2018), AR. Sugeng Riyadi, Kepala Pusat Astronomi Pondok Pesantren Assalam, Solo, menyebut bahwa hal tersebut karena gerhana adalah fenomena alam yang tidak berkaitan dengan ibadah.

"Walaupun ketika gerhana kita disyariatkan kita untuk sholat gerhana, tapi kan itu bukan secara langsung untuk kepentingan ibadah gerhananya," ungkap pria yang akrab disapa ustaz AR itu kepada Kompas.com, Rabu (31/01/2018).

Baca juga: Prakiraan Cuaca saat Super Blue Blood Moon Jakarta dan Sekitarnya

"Berbeda dengan awal bulan Ramadhan atau Syawal, karena itu ditentukan untuk kelangsungan ibadah," tegasnya.

AR juga menjelaskan bahwa hal-hal yang terkait dengan ibadah harus ada sumber Al Quran atau Hadisnya.

"Ketika sudah masuk pada sumber Al Quran dan Hadis, urusan ibadah sudah masuk ranah fiqih," ujarnya.

"Ketika masuk dalam ranah fiqih, pemahaman para ulama pasti tidak satu. Sehingga ada istilah fihi qaulani (ada dua alternatif jawaban, red)," sambungnya.

Dia kemudian memberikan contoh perbedaan pada sholat subuh. Diketahui bahwa sebagian orang sholat subuh dengan menggunakan bacaan qunut, sedangkan sebagian lagi tidak.

"Nah, itu fiqih. Kemudian ketika nanti Ramadhan, ada yang memakai hisab aja cukup, ada yang harus pakai rukyat," kata AR.

"(Bagi) yang pakai hisab saja, ada yang harus menggunakan buku yang ditulis orang Islam saja, ada yang boleh penulisnya siapa saja asalkan bukunya tentang hisab," tambahnya.

Baca juga: Mengapa Indonesia Beruntung soal Super Blue Blood Moon?

Selain itu, AR juga menjelaskan metode rukyat juga memiliki banyak perbedaan.

"Rukyat sendiri ada rukyatnya pemerintah, rukyatnya NU, rukyatnya fi'li yang tidak menggunakan alat, atau rukyat global itu juga berbeda," ungkapnya.

"Kata kuncinya, kalau sudah ibadah apalagi puasa dan Idul Fitri kan ibadah keumatan atau massal yasudah kita kembalikan kepada ulil amri. Kalau itu sepakat dikembalikan kepada ulil amri (pemimpin) pasti sama," imbuhnya.

AR juga menyebut, bahwa definisi ulil amri pun jika dipahami secara fiqih memiliki beberapa arti yang berbeda. Karena itu, AR kemudian menyederhanakan penjelasannya.

"Karena ada hadis (tentang penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal) yang mengatakan Summu Li Ru'yatihi. Li Ru'yatihi-nya itu dipahami bisa harus dilihat dengan mata, boleh dengan alat, boleh cukup menghitung, itu sudah," ujarnya.

"Kalau gerhana kan gak usah, kalau melihat gerhana ya hanya dihitung," sambung AR.

Perbedaan lain yang ditegaskan oleh AR adalah tentang hukum ibadah saat gerhana dan Ramadhan.

"Sholat gerhana hukumnya sunah. Puasa kan wajib," ungkapnya.

"Rigid-rigid ibadah ini tidak bisa dipukul rata. Sehingga urusan ibadah harus ada rujukannya, urusan civil tidak harus ada rujukan," imbuhnya.

Menurut AR, fenomena alam seperti gerhana bulan termasuk dalam ini masuk ranah umum. Karena itu, tidak pernah ada perbedaan pendapat dari kalangan umat Islam.

Baca juga: Mau Abadikan Super Blue Blood Moon? Ini Triknya

"Walaupun mungkin seperti yang saya singgung tadi (saat seminar), kalau pas mendung, ada yang berpendapat tidak perlu sholat gerhana. Tapi ada pula yang menyebut sholat gerhana dilakukan pun tidak masalah, toh dihitung cukup," ujarnya.

Pendapat sedikit berbeda diuangkapkan oleh K.H Agus Purwanto, dosen Fisika ITS yang juga menjadi pembicara dalam seminar tersebut. Agus menyebut alasan mengapa penentuan 1 Syawal sering berbeda adalah karena perbedaan kriteria dan penafsiran haditsnya.

"Itu karena perbedaan dalam penerimaan kriteria, lalu perbedaan pada penafsiran hadist yang berisi Summu Li Ru'yatihi," kata penulis buku Menalar Ayat-ayat Semesta tersebut.

"Ada yang menerima saklek seperti itu, tapi ada orang yang melakukan semacam lompatan pemikiran karena ada hadist lain yang menjadi illat atau alasannya kenapa kok orang harus rukyat," sambungnya.

Agus juga menjelaskan bahwa sebenarnya penentuan awal bulan dalam kalender Hijriah bisa diprediksi.

"Begitu alasannya terpenuhi karena sudah banyak ahli astronomi, sebenarnya bisa diprediksi dengan akurat," ujar pemilik TrenSains Group itu.

"Karena bisa diprediksi dengan akurat, mestinya sejak awal sudah ditentukan," imbuhnya

"Itu ada pandangan mutakhir yang seperti itu ya itu terhadap pemahaman hadistnya. Perbedaannya di situ," tegas Agus.

Baca juga: Selain Super Blue Blood Moon, Ini yang Akan Terlihat di Langit Nanti

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com