KOMPAS.com – Pada bulan November 2017, fotografer National Geographic Arko Datto tiba di New Delhi, India, dengan sambutan kualitas udara yang berkisar antara “buruk” hingga “sangat buruk”.
Dilansir dari National Geographic, Jumat (19/1/2018), Datto menulis bahwa udara Delhi merupakan campuran dari asap dan polusi yang dihasilkan oleh pembakaran liar, pabrik-pabrik, mobil, dan bahkan mercon yang dinyalakan oleh para partisipan festival Diwali.
Kualitas udara ini membuat Datto yang bekerja di luar ruangan mengalami sakit di bagian dada dan pusing. “Ketika kembali dari tempat-tempat konstruksi dan pinggiran sungai Yamuna, aku seringkali batuk-batuk dan mengeluarkan lendir kehitaman,” tulis Datto.
Baca juga : Pagi Ini, New Delhi Diselimuti Asap Polusi Terburuk
Namun, apa yang Datto rasakan tidak ada apa-apanya dengan yang dialami penduduk Delhi seminggu sebelumnya ketika kabut asap menyelimuti kota tersebut.
Tingkat polusi partikel (Particulate matter) di Delhi tercatat mencapai 999, batas maksimal yang bisa dibaca oleh mesin, pada awal November 2017. Saking beracunnya, Ketua Menteri Delhi Arvind Kejriwal bahkan menyamakan kota tersebut dengan ruang gas Hitler.
Dari cerita yang didapat oleh Datto, para penduduk Delhi merasa mual, sakit tenggorokan, dan mengalami iritasi mata. Memakai masker pun menjadi suatu kewajiban dalam melindungi paru-paru mereka.
“Masyarakat (Delhi) meyakini bahwa tinggal di Delhi mengurangi usia hidup seseorang hingga empat tahun,” tulis Datto.
Baca juga : PBB Beri Peringatan Dampak Polusi Udara pada Otak Anak
Berikut adalah foto-foto Datto selama berada di Delhi:
Udara Delhi yang begitu buruk pada awal November 2017 membuat aktivitas olahraga semacam ini disebut berbahaya.
Seorang wanita muda memakai masker ketika berjalan-jalan di Taman Lordi pada pagi hari.
Asap membumbung tinggi dari sebuah pabrik dia area industri Sahibadab, pinggiran Delhi.
Para keluarga migran yang hidup di sekitar lokasi konstruksi paling berisiko terkena dampak dari tingginya polusi dan debut karena tidur di luar ruangan. "Kebanyakan dari orang-orang ini yang aku wawancarai tidak mampu membeli masker maupun benar-benar mengetahui apa yang mereka butuhkan," tulis Datto.