"Mereka sehat dan tidak rentan terhadap penyakit tersebut," kata Brugger.
Sayangnya, sampai saat ini peneliti belum yakin dengan penyebabnya. Psikosis ini bisa jadi karena kekurangan oksigen atau tahap awal pembengkakan di area otak tertentu seperti yang terjadi pada gejala penyakit ketinggian, atau mungkin juga penyebabnya sama sekali bukan karena ketinggian.
"Seperti yang kita tahu, kurangnya kontak sosial dan kesiapan secara keseluruhan dalam waktu yang lama dapat mendorong timbulnya halusinasi," jelas Brugger.
Pemulihan instan
Gejala psikosis ini rupanya akan lenyap sama sekali setelah pendaki gunung meninggalkan ketinggian ekstrem yang menjadi zona bahaya. "Mereka benar-benar pulih," kata Brugger.
Meski pulih dengan instan, psikosis ketinggian terisolasi ini berpotensi menimbulkan kesalah yang berakibat fatal.
"Penting agar para pendaki menyadari risiko ini, (mereka) harus tahu benar bahwa halusinasi tidak nyata dan menemukan beberapa tindakan penanggulangan selama pendakian mereka," saran Brugger.
Penelitian lebih lanjut mengenai gangguan ini akan membantu mengungkap mengenai psikosis ini.
Maret mendatang, para peneliti berencana bekerja sama dengan dokter Nepal untuk mengetahui seberapa sering pendaki mengalami Psikosis Ketinggian Terisolasi.
"Kami akan menggunakan kuisioner untuk mengumpulkan data dari pendaki yang turun dari Everest," tambah Brugger.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.