Hingga sekarang, dokter umumnya mengira jika psikosis ini merupakan gejala penyakit ketinggian yang terjadi akibat kekurangan oksigen yang dialami di dataran tinggi dan bisa memicu penumpukan cairan yang berpotensi mematikan paru-paru atau otak.
Namun, analisis yang dilakukan oleh Windsor dan rekan-rekannya menemukan bahwa keadaan Psikosis Ketinggian Terisolasi ini berbeda dengan penyakit ketinggian.
Untuk mencapai kesimpulan tersebut, peneliti menganalisis data dari 83 peristiwa psikosis di dataran tinggi yang dikumpulkan dari literatur gunung Jerman.
Baca juga: Gunung Raksasa Baru Ditemukan, Tingginya Setengah Everest
Peneliti juga mencoba mensimulasikan kasus psikosis ini dengan menempatkan relawan di kamar yang dikondisikan seperti berada di ketinggian ekstrem, seperti misalnya dengan oksigen rendah dan tekanan udara yang rendah
Hasilnya, mereka menemukan kalau relawan mendengar suara-suara. Namun, gejala yang terjadi ini tidak berhubungan dengan penyakit ketinggian atau penyakit jiwa yang diderita pendaki di masa lalu.
"Mereka sehat dan tidak rentan terhadap penyakit tersebut," kata Brugger.
Sayangnya, sampai saat ini peneliti belum yakin dengan penyebabnya. Psikosis ini bisa jadi karena kekurangan oksigen atau tahap awal pembengkakan di area otak tertentu seperti yang terjadi pada gejala penyakit ketinggian, atau mungkin juga penyebabnya sama sekali bukan karena ketinggian.
"Seperti yang kita tahu, kurangnya kontak sosial dan kesiapan secara keseluruhan dalam waktu yang lama dapat mendorong timbulnya halusinasi," jelas Brugger.
Pemulihan instan
Gejala psikosis ini rupanya akan lenyap sama sekali setelah pendaki gunung meninggalkan ketinggian ekstrem yang menjadi zona bahaya. "Mereka benar-benar pulih," kata Brugger.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.