SINGAPURA, KOMPAS.com -- Obat yang digunakan dalam pengobatan kanker semakin berkembang. Setiap tahun, para dokter yang hadir dalam acara perkumpulan seperti European Society for Medical Oncology (ESMO) Asia 2017, Suntec Convention Center, Singapura, Sabtu (19/11/2017), menyajikan temuan baru yang dapat memperbaiki kualitas hidup pasien.
Dr Sita Andarini, PhD, SpP(K) menuturkan, generasi pertama obat kanker targeted therapy untuk mutasi EGFR yang berperan dalam pertumbuhan sel kanker adalah gefitinib dan erlotinib. Generasi kedua obat kanker paru adalah afatinib.
Ketiga obat ini berbentuk tablet dan diindikasikan untuk lini pertama kanker paru jenis NSCLC dengan mutasi EGFR exon 19 atau 21.
Untungnya bagi penduduk Indonesia, ketiga obat itu ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosisal (BPJS) Kesehatan.
Baca juga : Mengenal Macam-macam Pengobatan untuk Kanker Paru
Sejak 2014, gefinib telah digratiskan di Indonesia, diikuti erlotinib pada tahun 2016 dan afatinib pada tahun 2017. Dengan demikian, pasien yang mengidap adenokarsinoma tidak perlu khawatir biaya berobat.
Sayangnya hanya segelintir rumah sakit yang dapat melakukan pemeriksaan ada tidaknya mutasi EGFR. Selain di Jakarta, pemeriksaan ini terdapat di Yogyakarta, Banjarmasin, Medan, dan Denpasar.
Osimertinib
Selain ketiga obat di atas, generasi ketiga obat kanker targeted therapy adalah osimertinib yang telah mendapat persetujan penggunaannya oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) pada Oktober 2015 lalu. Obat ini dirancang untuk menghambat sensitisasi EGFR dan mutasi EGFR T790M.
Sita berkata bahwa pada penelitian AURA-3, pasien yang sudah tidak mempan menggunakan obat generasi pertama dan kedua, dan diketahui mutasi EGFR ekson 20 T790M, diberikan osimertinib atau kemoterapi
Hasilnya, PFS (progression-free survival atau waktu hidup pasien setelah mendapatkan pengobatan dan penyakitnya tidak memburuk) dengan osimertinib 10,1 bulan dibandingkan dengan kemoterapi sekitar 4.4 bulan.
"Penelitian inilah yang mendasari penggunaan osimertinib sebagai second-line apabila pasien tidak dapat berespons dengan pengobatan EGFR-TKI lini pertama," kata Sita.
Baca juga : Kanker Paru, Mengapa Sulit Terdeteksi?
Sayangnya, osimertinib baru akan masuk ke Indonesia pada Februari 2018. Oleh karena itu, pasien harus melakukan medical trip ke negara tetangga untuk tetap bertahan hidup.
Salah satunya adalah Hari Wongsooetoro. Meski tak merokok, Hari mengidap kanker paru jenis NSCLC yang menyebar dari paru kiri ke kanan dan medisastinum.
Setelah melakukan kemoterapi, dia menolak menjalani radiasi dan memilih menggunakan targeted therapy dengan menenggak afatinib. Efek sampingnya antara lain adalah jerawat, diare, pilek, dan cantengan.
“Sejak Mei 2017 saya menggunakan osimertinib. Efek sampingnya jauh berkurang. Kulit kering dan suka sariawan,” kata Hari.
Dokter Daniel Chan MB, MBBS, yang menangani penyakit Hari berkata bahwa lamanya pasien bertahan hidup berbeda-beda. Pasien Chan lainnya dapat bertahan hidup selama 25 bulan dengan osimertinib. Dia berharap Hari yang baru menggunakan osimertinib selama 6 bulan juga dapat bertahan.
Kini, Osimertib telah disetujui untuk pengobatan first line oleh FDA. Pasien dapat diberikan osimertibib di tahap awal jika terdapat mutasi EGFR 19 atau 21.
Dibandingkan standar pengobatan dengan menggunakan gefinitib yang bertahan selama 9,2 bulan, osimertinib pada first line mampu bertahan selama 16 bulan untuk pasien Asia, sedangkan pasien dunia sebesar 19,8 bulan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.