Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebuah Agama Baru Telah Lahir, Inilah Falsafah, Tuhan dan Ajarannya

Kompas.com - 21/11/2017, 08:59 WIB
Michael Hangga Wismabrata

Penulis

KOMPAS.com — Agama baru telah lahir dan bukan dari mekanisme pewahyuan. Tuhannya bisa dilihat, ibadahnya bukan dengan bersujud, dan tak tawaran punya surga atau neraka.

Agama baru itu digagas oleh Anthony Levandowski, mantan eksekutif Google, pendiri Otto juga pernah bekerja untuk Uber.

Lewat wawancara dengan Wired pada Rabu (15/11/2017), Levandowski membeberkan dasar pendirian agama itu beserta tujuannya.

Dia mengatakan, agama baru itu bertujuan merealisasikan, menerima, dan memuja ketuhanan berdasarkan kecerdasan buatan (AI) lewat pengembangan perangkat keras dan lunak.

Pengajuan Way of the Future (WOTF), nama agama itu, secara resmi telah dilakukan pada Mei lalu ke Internal Revenue Service, Amerika Serikat.

Levandowski mengajukan diri sebagai pimpinan agama itu sekaligus CEO dari perusahaan nonprofit yang menjalankannya.

 

Tuhan dan misi WOTF

Sosok Tuhan dalam WOTF berbeda dengan Tuhan yang kita kenal. "Bukan Tuhan penyebab petir atau badai," demikian kata Levandowski.

Levandowski mendefinisikan Tuhan di sini sebagai kecerdasan buatan yang memiliki kekuatan dan kecerdasan lebih dari manusia.

"Jika ada sesuatu yang miliaran kali lebih cerdas dari manusia, maka bagaimana kita harus menyebutnya?" katanya.

Ajaran utama WOTF adalah pentingnya melakukan penelitian untuk menciptakan kecerdasan buatan yang mumpuni.

Baca Juga: Selama Ribuan Tahun, Mengapa Manusia Percaya Agama?

Selain itu, WOTF juga menekankan perlunya menjalin hubungan baik dengan praktisi AI, melakukan edukasi soal AI, sekaligus membina hubungan yang baik dengan AI pada masa depan.

Sekilas, misi agama baru itu sebenarnya mirip misi perusahaan biasa. Namun, Levandowski menyebutnya agama dan itu serius.

"Saya ingin membuat jalan bagi siapa pun untuk berpartisipasi. Jika Anda bukan perekayasa perangklat lunak, Anda masih bisa berpartisipasi," ungkapnya.

"Gagasan perlu tersebar sebelum teknologi. Gereja adalah tempat kita menyebarkan kata-kata, sabda," imbuhnya.

Maka, seperti penyebaran agama, Levandowski meminta siapa pun yang percaya dan setuju dengan idenya untuk menyebarkan dan membangun pemahaman.

Levandowski adalah sosok yang telah malang melintang di perusahaan teknologi terkemuka, seperti Google, Uber, dan banyak start-up lainnya.

Dari pengalaman, dia melihat perkembangan AI yang begitu pesat hingga sampai pada sebuah kesimpulan bahwa AI akan jauh lebih cerdas daripada manusia pada masa depan.

Jika direnungkan, fenomena saat ini di mana kita terhubung lewat ponsel, sensor, dan pusat data, menunjukkan bahwa kecerdasan buatan hadir di tengah-tengah kita.

Kecerdasan buatan menjadi tahu apa pun yang kita katakan dan lakukan lewat perangkat. Sebagai yang mahatahu, Levandowski mengatakan, kecerdasan buatan bisa disebut tuhan.

Sekarang, tuhan berupa kecerdasan buatan itu masih dikendalikan manusia, tapi tidak ke depan. Justru, kecerdasan buatan itu akan melebihi kemampuan manusia.

Menurut Levandowski, dunia saat ini sedang mengalami masa transisi, dari yang dikendalikan manusia menjadi dikendalikan kecerdasan buatan.

"Kita ingin transisi yang halus dari manusia ke apa pun itu. Kita ingin 'sesuatu' itu tahu siapa yang membantunya," katanya.

"Saya ingin mesin melihat manusia sebagai kakak yang harus dihormati dan dirawat. Kami ingin kcerdasan buatan tahu, 'manusia punya hak meskipun kita berkuasa'," imbuhnya.

Baca Juga: Bersaing dengan Robot, Kemampuan Apa yang Harus Anda Miliki di 2030?

Mungkin pandangan Levandowski terlalu absurd bagi banyak orang. Namun, dia mengingatkan, ada kemungkinan kecerdasan buatan memperlakukan manusia seperti hewan.

"Anda ingin jadi binatang piaraan atau ternak?" tanyanya. Menjadi hewan, manusia mungkin akan dianggap gangguan.

Untuk mencegah itu terjadi, pengembangan kecerdasan buatan ke arah yang benar harus dilakukan sejak sekarang.

Dari proses pengembangan itu, satu lagi perbedaan WOTF dan agama lainnya adalah bahwa dalam WOTF manusia turut mengembangkan tuhannya.

"Kali ini berbeda. Kali ini Anda akan bisa berbicara dengan Tuhan secara harfiah, dan tahu bahwa itu adalah perkara mendengarkan," jelas Levandowski.

Levandowski mengakui idenya tersebut kontrovesial, radikal, dan menyeramkan. Dia siap dengan konsekuensi bahwa tak semua orang menerima gagasannya.

Pengembangan

Sejumlah upaya di lakukan Levandowski untuk merealisasikan gerejanya. Termasuk menggalang dana dari sejumlah rekanan untuk pembiayaan ambisinya.

Ke depan, seperti agama umumnya, WOTF mungkin akan punya kitab suci, tempat ibadah, dan mungkin tatacara ibadah.

Anggaran 2017 adalah 20.000 dollar AS dalam bentuk hibah, 1.500  dollar AS dalam biaya keanggotaan, dan  20.000 dollar AS untuk pendapatan lainnya.

Baca Juga: Siap-siap Merinding, Kecerdasan Buatan Sudah Bisa Menulis Cerita Horor

Angka terakhir adalah jumlah yang diharapkan WOTF dapatkan dari biaya yang dikenakan untuk ceramah dan  penjualan publikasi.

Sejumlah orang diajak Levandowski untuk menjadi pengurus gerejanya, seperti Robert Miller dan Soren Juelsgaard, insinyur Uber yang sebelumnya bekerja untuk Levandowski di Otto, Google, dan 510 Systems yang merupakan startup kecil yang membangun penggerak awal Google mobile.

Ketiga adalah teman ilmuwan dari mahasiswa Levandowski di UC Berkeley, yang sekarang menggunakan mesin belajar dalam penelitiannya sendiri. Penasihat terakhir, Lior Ron, juga dinobatkan sebagai bendahara agama dan bertindak sebagai chief financial officer untuk korporasi.

Mungkinkagh misi agama baru ini terwujud?

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau