Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Posesif", Bagaimana agar Kisah dalam Film Itu Tak Terjadi pada Anda?

Kompas.com - 15/11/2017, 20:15 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Saat sudah sayang dengan orang lain, tanpa disadari ada keinginan untuk memiliki lebih.

Jika hal ini bisa dikontrol dengan baik, keinginan ini mungkin bisa membantu untuk saling melindungi. Namun kalau tidak, ada kemungkinan keinginan ini berujung pada sifat posesif yang sulit dikendalikan.

Posesif. Kata ini juga dipilih oleh sutradara Edwin untuk judul film drama panjang pertamanya yang saat ini masih tayang di bioskop.

Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan Edwin, sebelum film ini tayang, sutradara ini mengaku melakukan riset cukup lama. Dia ingin benar-benar mengerti gejolak apa yang dialami oleh cinta remaja.

Akhirnya, dia menemukan kasus kekerasan dalam pacaran yang didasari rasa posesif.

BACA: Terbelenggu Cinta Posesif

Menurut Edwin, hubungan yang posesif dan kasar itu seperti racun. "Kita belajar menjadi korban, lama-lama belajar menjadi pelaku juga. Hal ini berulang seperti siklus," katanya.

Pengalaman ini diterapkan lewat filmnya, di mana seorang ibu merawat anak tunggalnya seorang diri dengan sangat keras karena terlalu sayang. Tanpa disadari, perilaku ini ternyata juga menurun ke putranya.

Setelah menemukan kekasih di masa SMA yang bisa 'disayang' menurut versinya, dia justru mengekang pasangannya. Bahkan sampai bermain fisik.

Korban yang kemudian menjadi pelaku, ditangkap oleh Edwin sebagai cara seseorang untuk melampiaskan apa yang dialaminya kepada orang lain.

Apa kata Psikolog?

Terkait kasus ini, psikolog Adityana Kasandra Putranto mengungkapkan, pada dasarnya sifat posesif yang dimiliki manusia mekanismenya bukan menular, tetapi adan proses experiential learning.

"Ketika anak belajar mengalami kondisi dikendalikan, maka dia akan mengembangkan ciri khas yang sama. Terutama karena proses identifikasi," ujar Kasandra saat dihubungi Kompas.com, Rabu (15/11/2017).

Alasan melakukan posesif pun bermacam-macam. Setiap orang yang memiliki sifat ini mempunyai alasan pribadi mengapa melakukan hal tersebut.

Seperti yang kita tahu, posesif merupakan sifat yang muncul untuk membatasi ruang gerak orang lain. Tidak hanya untuk pasangan, tapi bisa juga antara orangtua dan anak, juga dalam lingkungan pertemanan.

BACA: Benarkah Bunuh Diri Bisa Menular? Psikolog Ini Menjawabnya

Dengan tindakan ini, Kasandra berkata bahwa sangat mungkin sifat ini dapat memicu kekerasan dalam hubungan. "Biasanya iya (memicu kekerasan), karena ini membatasi hak dan kebebasan orang lain, dan dapat menjadi pemicu," ujarnya.

Bagaimana mengendalikan diri agar tidak posesif?

Bibit-bibit posesif sebenarnya dapat dipelajari oleh diri sendiri. Coba berkaca pada diri Anda sendiri, dan tengok ke belakang.

Ketika Anda memiliki niat untuk menguasai orang lain dan menggunakan kekuasaan itu untuk mengintimidasi atau membatasi hak orang lain, maka Anda termasuk orang yang posesif.

"Atau saat Anda membatasi orang lain untuk melakukan apa yang ingin dilakukan atau membatasi menjalin hubungan dengan siapa, membatasi orang lain untuk bergaul, dan seterusnya," sambungnya.

Untuk itu, salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mengelola diri sendiri agar tidak posesif adalah merubah kebiasaan diri sendiri, baik perilaku maupun pola pikir.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau