KOMPAS.com - Autisme di Indonesia, bahkan dunia, masih belum banyak dibahas secara terbuka. Akibatnya, para pengidap autisme sering kali mendapat cemoohan atau di-bully. Tidak heran jika para pengidap autisme lebih sering merasa depresi.
Hal ini sesuai dengan temuan sebuah penelitian dari Conventry University.
Dalam penelitian tersebut dikemukakan bahwa orang yang menunjukkan karakteristik autisme lebih berisiko mencoba bunuh diri.
Baca juga: Percaya Bumi Datar dan Vaksin Bikin Autis? Mungkin Kamu Cuma Sok Unik
Biasanya hal tersebut dipicu oleh perasaan tidak diinginkan, dikeluarkan dari masyarakat, dan menjadi beban untuk keluarga dan teman.
Sebelumnya, beberapa penelitian telah menyebutkan hubungan antara pengidap autis dan peningkatan risiko bunuh diri. Namun, baru kali ini sebuah studi menyebutkan bahwa orang yang belum didiagnosa mengidap autisme, tetapi memiliki ciri yang mirip juga berisiko bunuh diri.
Para ilmuwan mengatakan, memahami faktor-faktor ini sangat penting untuk mengurangi kematian karena bunuh diri.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Autism Research ini melibatkan 163 orang yang berusia 18-30 tahun. Mereka diminta menyelesaikan survei online untuk menetapkan tingkat di mana mereka menunjukkan karakteristik autisme, depresi, dan perilaku bunuh diri.
Sifat autisme yang dimaksud meliputi kesulitan sosial dan komunikasi, perhatian terhadap detail, dan kecenderungan untuk memiliki obyek obsesi yang sempit.
Selain itu, peneliti juga memeriksa perasaan interpersonal yang mungkin terkait dengan usaha bunuh diri, termasuk perasaan tidak cocok dengan dunia ini atau menjadi beban untuk orang lain.
Hasil menunjukkan bahwa orang-orang dengan tingkat autisme yang lebih tinggi ternyata juga memiliki perasaan depresi, membebani orang lain, dan tidak cocok dengan dunia yang lebih tinggi, sehingga risiko bunuh dirinya turut menjadi lebih tinggi.
Baca juga: Pimpinan DPR Minta Gunadarma Usut Tuntas Kasus Bully Mahasiswa Autis
Penelitian ini dilakukan oleh Mirabel Pelton sebagai bagian dari tesisnya.
Kepada Sciencedaily, Senin (23/10/2017), dia mengatakan, ini adalah masalah hidup dan mati. Penelitian sebelumnya gagal memahami kaitan antara sifat autistik dan bunuh diri. Namun peneltian ini menunjukkan bahwa mempromosikan inklusi dan kemandirian secara sosial dapat menyelamatkan kehidupan.
Temuan terbaru ini kemudian dipresentasikan pada komite koordinasi autisme antar-lembaga (IACC), sebuah komite penasehat federal Amerika Serikat pada pertemuan di Maryland, oleh Dr Sarah Cassidy, pengawas penelitian tersebut.
Tak hanya pada pengidap autisme dewasa
Sebelumnya, pada 2013 sudah ada temuan mengenai anak-anak pengidap autisme dan risiko bunuh diri yang lebih besar.
Penelitian kala itu melibatkan data dari 1.000 anak. 791 anak dengan autisme, 186 anak non-autis, dan 35 anak non-autis dengan depresi.
Orangtua diminta memberi penilaian numerik yang menggambarkan seberapa sering anak mereka mencoba bunuh diri.
Baca juga: Kisah Ariel, Bocah Penyandang Autis yang Ingin Naik Haji
Hasilnya, anak-anak dengan autisme 28 kali lebih mungkin mencoba bunuh diri dibanding anak-anak non-autis.
Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Research in Autism Spectrum Disorder ini menyebutkan bahwa depresi diprediksi menjadi penyebab terkuat atas usaha bunuh diri anak-anak pengidap autisme.
"Dari anak-anak itu, hampir setengah dari mereka mencoba untuk bunuh diri karena diintimidasi atau diolok-olok," kata Angela Gorman, asisten profesor psikiatri anak di Penn State College of Medicine yang mengerjakan penelitian tersebut dirangkum dari Livescience, Rabu (13/03/2013).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.