SFUW yang dibentuk 2007 oleh alumni dan anggota keluarga Slow Food Madison, Genya Erling. Kebutuhan sosial yang dirasakan Genya, ingin membuat makanan enak, bersih, dan adil.
Saat itu, dia melihat Slow Food Madison sebagai gaya hidup yang mahal, yakni 50 dollar per orang.
Setelah mendapatkan sponsor fakultas yang mampu menekan harga, Genya berhasil mengumpulkan belasan siswa untuk belajar memasak dan memanfaatkan pangan lokal yang tersedia di asrama atau restoran murah.
Baca Juga: Krisis Pangan Mendunia, Benarkah Dipicu Migrasi Penduduk Desa
Dari hal yang dilakukan Genya tersebut, secara tidak langsung membangun kompetensi dan aktivitas sosial.
Mereka terdorong untuk memenuhi kebutuhan dan motivasi otonomi. Banyak dari siswa Genya berhasil membuat makanan enak sederhana, seperti aneka macam kue.
Dari kegiatan tersebut, keterampilan memasak siswa terlatih. Mereka juga membahas sistem pangan dan akses mendapatkan bahan pangan. Mereka mampu menciptakan komunitas untuk mengubah sistem pangan.
"Ini sesuatu yang tidak dapat dilakukan sendiri. Hubungan ini mampu membangun masyarakat lebih kuat secara keseluruhan dan Anda tidak merasa asing saat melakukannya," kata Genya.
Satu tahun setelah komunitas itu terbentuk, mereka diminta pindah untuk memasak di luar lingkungan Universitas.
Salah satu anggota mengetahui bahwa ada sebuah gereja terdekat, the Crossing, yang ingin membuka kafe untuk menumbuhkan kepemimpinan siswa dan berkelanjutan. Dari sinilah lahir kemitraan.
Kisah Slow Food University of Wisconsin bisa memberi inspirasi tentang konsumsi pangan yang sehat, berkelanjutan, dan adil.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.