Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/09/2017, 21:06 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

KOMPAS.com -- Cerita pilu bayi Debora tidak hanya membuat mata publik tertuju pada Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres saja, tetapi juga mekanisme dan peraturan pelayanan kesehatan publik.

Kasus ini juga menjadi perhatian Marius Widjajarta selaku Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPPKI).

(Baca juga: Orangtua Terkendala Biaya, Bayi Debora Meninggal di RS)

Diwawancarai oleh Kompas.com melalui telepon pada hari Rabu (13/9/2017), Marius berkata bahwa rumah sakit harus memperhatikan kondisi dan situasi sebelum menolak merawat pasien.

“Kalau yang namanya gawat darurat, sama sekali tidak boleh menolak. Jadi, dokter pun boleh menolak pasien selama keadaan tidak gawat darurat, misalnya tidak kooperatif, tetapi kalau yang namanya gawat darurat, itu sama sekali tidak boleh,” ujarnya.

Hal ini, kata Marius, sudah diatur dalam Undang-undang Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 32 dan Undang-undang Praktik Kedokteran.

(Baca juga: Kasus Bayi Debora dan Aturan Penanganan Pasien Dalam Kondisi Darurat)

Uang muka

Dalam kasus bayi Debora, Marius berkata bahwa kesalahan RS Mitra Keluarga Kalideres adalah meminta uang muka ketika kondisi gawat darurat belum usai.

Pada awalnya, dokter telah memberikan penanganan pertama kepada bayi Debora tanpa uang muka. Namun, setelah itu Debora perlu distabilkan di Pediatric Intensive Care Unit (PICU).

“Jadi, dokter membuat surat agar (Debora) dirawat di PICU. Setelah itu, dokter sudah tidak bertanggung jawab. Itu sudah urusan administrasi dan kebijakan manajemen,” katanya.

Di sinilah, proses tawar menawar antara orangtua Debora dengan pihak rumah sakit terjadi. Namun, karena uang yang dimiliki oleh orangtua Debora tidak mencukupi, RS Mitra Keluarga Kalideres pun menolak.

“Dengan begitu, berarti manajemen rumah sakit (Mitra Keluarga Kalideres) ini meminta uang, padahal pasiennya dalam kondisi gawat darurat dan mengarah untuk distabilkan,” ujar Marius.

Dia melanjutkan, di sinilah kesalahan dari rumah sakit. Karena dalam peraturan (UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 32) kan disebutkan bahwa tidak boleh meminta uang muka dalam keadaan gawat darurat.

(Baca juga: Dinkes DKI Akan Terbitkan Instruksi Penanganan Pasien Gawat Darurat tanpa Tarik Uang Muka)

Standar layanan kesehatan nasional

Peraturan yang menyatakan bahwa rumah sakit tidak boleh meminta uang muka dalam keadaan gawat darurat sebenarnya sudah lama ditetapkan di dunia internasional.

Pada bulan Januari 2002, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan Patient Safety (keamanan pasien) karena mereka melihat bahwa layanan kesehatan telah bergeser dari amal menjadi komersial. Deklarasi tersebut dihadiri oleh 191 negara, termasuk Indonesia.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Rekomendasi untuk anda
28th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com