KOMPAS.com -- Dalam waktu kurang dari sebulan, yakni pada tanggal 15 September 2017, wahana antariksa Cassini akan terjun dan terbakar oleh atmosfer Saturnus. Di samping karena kehabisan bahan bakar, Cassini juga berpotensi mengontaminasi sistem Saturnus sehingga ia harus dihancurkan.
Keputusan tersebut diambil ketika wahana antariksa ini menemukan lautan garam di bawah permukaan es Enceladus, salah satu bulan Saturnus. Para peneliti berpendapat bahwa bila kehidupan di luar bumi memang ada, maka lautan garam Enceladus adalah calon terkuat untuk diselidiki.
(Baca juga:Mengenal Cassini, Wahana Antariksa yang Menguak Misteri Saturnus)
Cassini yang diluncurkan pada tahun 1997 oleh Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), Badan Antariksa Eropa, dan Badan Antariksa Italia belum disterilkan sehingga ada kemungkinan bahwa bakteri dari bumi ikut terbawa olehnya.
Bila bakteri bumi berhasil mencapai lingkungan Enceladus yang begitu nyaman, maka hasilnya bisa fatal dan mungkin menganggu kehidupan asli yang ada di bulan tersebut.
“Penemuan Cassini adalah kejatuhannya,” kata Earl Maize, seorang insinyur dari Jet Propulsion Laboratory (JPL) milik NASA yang mengatur misi Cassini dalam konferensi pers pada bulan April lalu.
Namun, kematian Cassini tidaklah sia-sia. Dalam bab terakhir yang disebut sebagai Grand Finale ini, wahana antariksa tersebut akan melakukan 22 perjalanan di antara Saturnus dan cincinnya, termasuk menuju tempat yang belum pernah dijelajahi sebelumnya.
(Baca juga: Simak Foto Saturnus dari Aksi Bunuh Diri Cassini)
Kelima orbit terakhir bahkan akan membawa Cassini hingga kurang dari 1.600 kilometer di atas permukaan Saturnus.
Lalu, pada tanggal 11 September 2017, Cassini akan menggunakan daya gravitasi Titan, bulan terbesar Saturnus, untuk masuk ke orbit yang lebih rendah dan terbakar empat hari kemudian.
“Akhir yang telah direncanakan untuk perjalanan Cassini ini jauh dari keinginan ilmuwan misi tersebut. (Namun) Cassini akan menggunakan observasi terbaiknya pada akhir hidupnya yang panjang,” kata Linda Spilker, ilmuwan proyek Cassini di JPL.