KOMPAS.com - Minggu pagi tanggal 19 Agustus 1945 kesibukan begitu terasa di Yogyakarta.
Kabar proklamasi baru saja tersiar secara resmi di Yogyakarta melalui berita di surat kabar Sinar Matahari.
Di pagi yang sama pula, Sultan Hamengku Buwono IX merespon kabar tersebut dengan mengirimkan sebuah telegram ke Jakarta. Isinya adalah ucapan selamat serta dukungan kedua penguasa itu terhadap Republik Indonesia.
"Sultan adalah sosok yang anti penjajahan. Sehingga ia memiliki konsep bahwa sebuah bangsa harusnya bebas dari penjajahan," kata Uji Nugroho Winardi, Pengajar di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Tidak berhenti disitu. Sultan Hamengku Buwono IX mengundang perwakilan kelompok masyarakat yang terdiri dari para pemuda, pemuka agama, kepanduan, dan perwakilan pemuda Tionghoa untuk mengadakan pertemuan singkat di Bangsal Kepatihan.
"Beliau menjelaskan dan memberikan pengertian apa itu merdeka. Termasuk menegaskan pentingnya persatuan segala lapisan masyarakat untuk mendukung kemerdekaan. Dan mereka mendukung dengan apa yang dikatakan raja mereka," jelas Uji.
Baca Juga: Karut Marutnya Yogyakarta di Awal Era Kemerdekaan
Bentuk-bentuk dukungan kemudian bermunculan. Di bawah pimpinan K.H. Mathori Al Huda para ulama Bantul menggelar kegiatan pengajian dan khotbah keagamaan menghimbau agar umat Islam dapat membantu biaya perang.
Bantuan itu bisa berupa apa saja, dari pakaian, uang ataupun hal yang dapat bermanfaat dalam perang.
Gereja Pugeran yang berdiri sejak tahun 1934 juga menyediakan dan membuka gereja untuk masyarakat yang rumahnya hancur akibat perang dan menjadi tempat penghubung antara gerilyawan Yogyakarta yang bergerak di dalam dan di luar kota Yogyakarta.
Laskar-laskar juga bermunculan, membentuk pertahanan. Tentara Rakyat Mataram (TRM), Pasukan Alap-alap, Laskar Ekstrimis Oembaran (LEO), Angkatan Perang Sabil, Tentara Pelajar, Laswi (Laskar Wanita), Askar Perang Sabil (APS), Barisan “P”, Gabungan Laskar pimpinan Indratono (Gondomanan 17) adalah beberapa diantaranya.
Respon positif ini tidak terlepas dari Sultan yang bisa merengkuh berbagai kalangan untuk berpartisipasi dalam kemerdekaan. Ia memiliki kharisma sebagai raja yang dihormati melalui sabda-sabdanya tetapi juga sekaligus peduli kepada rakyatnya.
"Sultan juga sosok yang peka terhadap jaman dan memiliki pengetahuan seluas cakrawala," kata Uji yang juga menjadi salah satu penulis dalam buku Gelora di Tanah Raja: Yogyakarta Pada Masa Revolusi, 1945-1949.
"Pengalaman serta refleksi selama masa hidupnya inilah yang mungkin memperkaya dan juga mempengaruhi bagaimana cara pandang Sultan," tambahnya.
Lahir tanggal 12 april 1912, Sultan Hamengku Buwono IX sudah mandiri sejak kecil. Baru berumur 4 tahun ia sudah tinggal di luar lingkungan istana untuk mengikuti pendidikan.
Ia dititipkan di sebuah keluarga Belanda. Sultan yang memiliki nama kecil Daradjatun ini kemudian pindah ke Semarang untuk belajar di Hoogere Burgerschool (HBS).
Baca Juga: Temuan Meriam Asal Indonesia Mengubah Sejarah Australia
Namun ia pindah ke Bandung untuk menyelesaikan HBS karena alasan kesehatan. Awal 1930an, Sultan Hamengku Buwono IX berangkat ke Belanda. Di sana, ia belajar di Fakultas Indologi di Univeristas Leiden.
Meski tumbuh dalam dunia barat bukan berarti Sultan Hamengku Buwono IX mendukung penjajahan.
Sikap anti penjajahan salah satunya ia tunjukkan dengan menolak tawaran H.J van Mook. Ia adalah Gubernur Jenderal Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Pada saat itu van Mook menawarkan kedudukan raja Jawa kepada Sultan jika mau bergabung dengan NICA. Tapi ia menolak dan lebih memilih mendukung Republik Indonesia dalam berbagai bentuk.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.