Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 26/07/2017, 09:07 WIB
|
EditorShierine Wangsa Wibawa

KOMPAS.com -- Ini benar-benar gawat. Manusia tengah mengubur planetnya sendiri dengan plastik. Menurut penelitian terbaru, sebanyak 9 miliar ton plastik telah diproduksi sejak 1950 dan mayoritas kini memenuhi tanah dan lautan kita.

“Kita sedang menuju ke arah ‘Planet Plastik’, dan jika kita tidak mau tinggal di dunia seperti itu, maka kita harus mulai berpikir ulang mengenai cara penggunakan materi-materi tertentu seperti plastik,” ujar pakar ekologi industri Roland Geyer kepada BBC News 19 Juli 2017.

Dipublikasikan dalam jurnal Science Advances, para peneliti mengungkapkan bahwa dihitung berdasarkan kecepatan produksi plastik yang selalu meningkat, setengah dari 9 miliar ton plastik tersebut ternyata baru diproduksi selama 13 tahun terakhir.

“Jadi masalahnya bukan hanya membuat banyak (plastik) saja, tetapi kita juga membuat semakin banyak plastik dari tahun ke tahun,” kata Geyer.

(Baca juga: Peneliti Temukan Ratusan Ton Sampah Plastik di Lautan Arktik)

Berdasarkan laporan Darryl Fears di Washington Post, penyumbang plastik terbesar adalah China. Walaupun negara ini adalah pendaur ulang terbesar di dunia yang memberikan 25 persen plastik kehidupan baru, tetapi mayoritas dari plastik yang mereka produksi dibuang begitu saja.

Pasalnya, mayoritas plastik di dunia memang dirancang untuk dibuang. Laura Parker dari National Geographic melaporkan bahwa 40 persen dari plastik non-fiber diproduksi sebagai kemasan yang disobek dan dibuang. Akibatnya, hanya 9 persen dari seluruh plastik di dunia yang didaur ulang, dan sebanyak 54 persen dari plastik yang dibuang adalah kemasan.

Lebih buruknya lagi, 90 persen dari plastik yang didaur ulang hanya digunakan sekali lagi sebelum dibuang.  “Daur ulang yang terbaik adalah menggunakan sebuah materi berulang-ulang, kalau bisa selamanya,” ucap Geyer.

Setelah dibuang, plastik kemudian menjadi polusi yang tak terelakkan. Bila dibakar, satu-satunya cara untuk menghilangkan plastik secara permanen, asapnya menjadi polusi udara yang berbahaya. Namun, bila tidak dibakar, plastik mengotori lingkungan, memenuhi tanah, dan mengisi lautan.

Para peneliti telah memikirkan berbagai cara baru untuk mengatasi masalah polusi plastik. Ada yang mengusulkan untuk menggunakan ulat sebagai pemakan plastik atau menggunakan bakteri untuk mengurainya.

Namun, menurut Geyer, solusi yang paling efektif adalah mengubah ketergentungan kita terhadap plastik.

“Kita butuh pendekatan yang lebih besar dan berani. Meningkatkan daur ulang hingga beberapa persen tidak akan membantu. Harapanku adalah agar studi ini bisa menambahkan kedaruratan terhadap debat penggunaan plastik di masa depan,” ujarnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com