KOMPAS.com -- Ada beberapa hal yang lebih dibenci Alexander Graham Bell daripada musim panas di Washington, D.C. Dia biasanya melarikan diri ke perkebunannya di Nova Scotia. Namun, sebuah kewajiban yang berlangsung selama setahun memaksanya tinggal di ibukota yang lembab.
Dengan suhu 37 derajat celcius yang menyengat kulit, ia heran, mengapa manusia dapat memikirkan cara menghangatkan rumah, tetapi tidak dengan cara mendinginkannya.
Di dekatnya, Presiden Woodrow Wilson telah memasang pabrik es yang menurunkan suhu di Gedung Putih hingga 26 derajat. Saat Bell membacanya di koran, dia telah mengalahkan sang presiden. Pemompa udara dingin—alat aneh yang dirancangnya—telah menurunkan suhu di kamarnya hari itu sampai ke suhu 18 derajat.
Ketika Bell berusia 69 tahun, ia menceritakan kisah ini dalam sebuah pidato kelulusan di McKinley Manual Training School tahun 1917. Para siswa menjadi liar dan menjadi-jadi dengan tepuk tangan mereka. Sebuah surat kabar lokal melaporkan, ia dipaksa berdiri dari tempat duduknya untuk menyampaikan ulang pidato tersebut.
(Baca juga: Direkam Tahun 1885, Suara Alexander Graham Bell Kini Bisa Didengar)
"Bisakah perangko digunakan pada transportasi manusia?,” tanya Bell. Dia pernah berpikir untuk mengenakan tarif rata-rata pada transportasi umum, tetapi biaya untuk membangun jalan tambahan terlalu tinggi. "Mungkin, ujarnya mengambil risiko, mesin terbang akan menjadi solusinya," tulis surat kabar yang mengulasnya.
Pidato Bell—yang disebut sebagai "Prizes for the Inventor: Some of the Problems Awaiting Solution"—merefleksikan adanya sebuah kemajuan abad dan visioneritas dengan pandangan ke masa depan yang luar biasa.
Di dalamnya, ia mengagumi kemajuan yang dibuat pada abad lalu: penerangan dari gas yang telah berkembang menjadi bola lampu listrik, manusia bisa "melihat detak jantungnya sendiri", dan mobil menjadi kendaraan pengganti delman. Prediksinya pun berlanjut pada pesawat komersial, panel surya, dan kebutuhan akan sumber daya yang berkelanjutan.
Gilbert Grosvenor, menantu Bell dan editor majalah National Geographic, belakangan meminta teks tersebut dan menerbitkan versi revisinya dalam edisi Februari. Kini, seratus tahun kemudian, ramalan dan peringatan Bell terus berlanjut.
Bell dibesarkan di era ketika sekolah "melahirkan sarjana ketimbang ilmuwan", katanya kepada siswa di McKinley saat di panggung. Namun, abad yang lalu telah melahirkan sebuah penemuan luar biasa, yakni dari telegraf ke foto.
"Saya sendiri belum cukup tua, tetapi saya dapat mengingat hari-hari ketika belum ada telepon,” ujar orang pertama yang mematenkan telepon itu yang disambut dengan gemuruh tepuk tangan. Seiring masuknya Amerika ke dalam Perang Dunia I, ia berjanji bahwa "orang sains akan dihargai di masa depan, tidak seperti yang pernah dia alami sebelumnya".
Menurut anggapannya sendiri, Bell pada saat itu sedang berada di puncak intelektualnya. Pada dekade sebelumnya, dia bekerja untuk membangun kapal tercepat di dunia (yang menciptakan pada tahun 1919), mengusulkan sumber energi terbaru berkelanjutan, dan terus-terusan membuat sketsa mesin terbang (alat yang dia gambarkan dalam artikel tahun 1892 menyerupai helikopter yang ditemukan 40 tahun kemudian). Setahun setelah Wright bersaudara menerima hak paten mereka, layang-layang Bell mampu menerbangkan temannya hingga 160 kaki.
Pada tahun 1915, dia melakukan panggilan telepon pertama dari pantai ke pantai dan segera setelah itu, seorang pria di Virginia berkomunikasi dengan pria di Menara Eiffel dalam transmisi transatlantik pertama.
Bell meramalkan hari ketika panggilan—dan "operasi mekanis"—bisa dibuat tanpa kabel. Dia juga meramalkan bahwa suatu saat nanti, alat tersebut akan “menggusur” pembuatnya: "Di setiap tangan, kita melihat bagaimana mesin dan kekuatan motif buatan menggantikan hewan dan tenaga manusia."
Murid-murid McKinley pun terpesona. "Dia membawa penonton ke dalam kepercayaan dirinya dan membuat mereka merasa bahwa dia sedang mengungkapkan rahasia dari buku catatan ilmiahnya," sebuah surat kabar melaporkan.