JAKARTA, KOMPAS.com -- Tidak sedikit dari orang Indonesia yang tak suka makan sayur dan buah. Padahal, kandungan dari buah dan sayuran dibutuhkan oleh tubuh dan meminimalkan potensi mengidap penyakit tidak menular.
Dokter Fiastuti Witjaksono SpGK mengatakan, ketaksukaan pada sayur dan buah disebabkan oleh kesalahan orang tua dalam memperkenalkan kedua makanan itu pada usia dini. Oleh karena itu, diperlukan usaha lebih banyak agar anak menyukai sayuran dan buah.
Memang, mengenalkan makanan baru pada anak yang baru melihat dunia bukanlah perkara mudah. Bila tidak telaten, ibu hanya akan mendapati makanan tersebut dimuntakan kembali.
Untuk itu, Fiastuti menyarankan agar buah dan sayuran mulai dikenalkan kepada anak sejak usia enam bulan sebagai makanan pendamping ASI (MPASI). “Misalnya, kalau baru 6 bulan kita kasih air jeruk. Itu pun sekali dulu. Nanti kalau sudah bisa diterima bisa dilanjutkan dengan pisang atau pepaya yang dilumatkan,” ujarnya di kawasan Jakarat Selatan, Kamis (13/7/2017).
(Baca juga: Kabar Buruk, Orang Indonesia Krisis Buah dan Sayur)
Namun, buah yang diberikan tidak boleh dicampur. Dengan demikian, orangtua bisa mengetahui preferensi anak terhadap jenis buah tertentu.
Lalu, saat mencapai usia 9 bulan, anak bisa mulai makan bubur dengan sayuran yang diblender seperti wortel, brokoli, dan buncis. “Supaya dia kenal rasanya. Anak awalnya hanya ASI, begitu dikenalkan dengan makanan lain dia belum tentu mau. Seperti kita, biasa makan nasi lalu diganti kentang,” ucap Fiastuti.
Ketika anak mencapai usia satu tahun, pola makan yang dikonsumsi layaknya orang dewasa, yakni nasi, lauk, sayur, dan buah. Pada tahap ini, Fiastuti menganjurkan agar anak tidak dibiasakan nyemil. Sebab, rasa buah yang relatif hambar bisa tergantikan oleh cemilan asin, manis, minyak, dan lemak.
“Biasakan tidak pakai garam berlebih, penyedap rasa, dan pengawet. Jangan dikenalkan dengan cemilan karena rasanya lebih tajam. Nanti dia tidak mau buah lagi,” ucapnya.
(Baca juga: Perhatian untuk Semua, Tidak Mungkin Menjadi Gemuk Sekaligus Sehat)
Sayangnya, orangtua yang bekerja tak punya banyak waktu sehingga makanan olahan sering kali dipilih karena lebih praktis. Menurut Fiastuti, vitamin yang terkadung dalam makan olahan bukan murni berasal dari buah atau sayur, melainkan vitamin substitusi. Hal itu juga terjadi pada susu olahan.
Akan tetapi, bukan berarti vitamin pada makanan olahan buruk bagi tubuh. Hanya saja, makanan yang bukan olahan akan memberikan manfaat yang lebih lengkap. “Tidak terlalu beda dengan vitamin substitusi. Cuma kalau makan buah itu rasanya lengkap. Vitaminnya ada, mineralnya ada, dan cairannya ada. Senyawa fitokimia juga ada," kata Fiastuti.
Dia melanjutkan, jadi bisa saja vitamin dan serat diganti dengan substitusi, tetapi tidak akan selengkap buah. Makanya tidak pernah orang itu kebanyakan makan sayur dan buah sehingga kebanyakan serat. Tidak, karena nutrisinya lengkap dalam satu buah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.