JAKARTA, KOMPAS.com -- Kanker payudara menjadi momok yang menakutkan bagi perempuan. Setelah kanker rahim, penyakit ini menempati urutan kedua sebagai pembunuh perempuan.
Selain itu, pengidap kanker payudara juga hampir selalu diharuskan mejalani kemoterapi dalam upaya penyembuhan. Terapi sistemik itu bekerja dengan menggunakan senyawa kimia tertentu untuk menyerang ke dalam inti sel kanker sehingga sel kanker tidak bisa lagi menggandakan dirinya.
Namun, banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Selain relatif tidak murah, kemoterapi juga memiliki beberapa efek samping. Efek jangka pendek kemoterapi adalah mual, muntah, botak, dan kelelahan. Lalu, meski jarang terjadi, kemoterapi juga berpotensi menimbulkan kanker sekunder.
(Baca juga: Ini Sebabnya Kanker Payudara Sebaiknya Ditemukan di Stadium Satu)
Untungnya, ilmu pengetahuan semakin berkembang dan pengidap kanker payudara tidak harus melakukan kemoterapi. Principal Investigator Stem cell and Cancer Institute, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, Phd, mengatakan, penderita kanker payudara dapat menjalani tes genomik sebelum melakukan kemoterapi. Tujuannya untuk mengetahui risiko munculnya kembali sel kanker dalam rentang waktu tertentu.
Akan tetapi, tes genomik hanya berlaku pada pasien kanker payudara stadium dini, yakni stadium I dan II. Untuk kanker payudara stadium lanjut, III dan IV, tes genomik percuma dilakukan karena sel kanker telah menyebar ke bagian tubuh lainnya.
“Tes genomik berfungsi untuk melihat kankernya risiko tinggi atau tidak. Kalau risiko rendah, dia tidak perlu kemo dan penelitian menyebutkan bahwa dalam 5 tahun risiko kambuhnya 5 persen, 10 tahun 10 persen,” kata Ahmad dalam acara buka puasa PT Kalbe Farma Tbk di kawasan Jakarta Pusat, Selasa (13/6/20170.
Bila setelah tes genomik pasien dinyatakan memiliki risiko tinggi, maka kemoterapi tetap perlu dijalani untuk mencegah kambuhnya sel kanker.
Menurut Ahmad, rendahnya risiko kanker hidup kembali tanpa menjalani kemoterapi dapat memberikan kedamaian psikologis pada pasien. Selain itu, dengan pengetahuan tersebut, dokter bisa mengambil tindakan medis yang lebih tepat. “Dari segi biaya, kalau kemoterapi kan tidak hanya biaya yang tercatat. Ada biaya lain. Bagi pasien dengan risiko rendah, dia dapat peace of mind, jadi betul-betul lega,” ucapnya.
Ahmad menilai 70 persen penanganan kanker payudara cenderung ditangani berlebihan. Dokter sering kali menyarankan kemoterapi pada kanker payudara yang telah membesar. Namun, menurutnya, besarnya sel kanker belum tentu berkorelasi dengan tingginya risiko kambuh.
(Baca juga: Jenis Benjolan di Payudara yang Perlu Dicurigai Kanker)
Meski demikian, Ahmad menyebutkan bahwa keselahan itu tidak terletak pada dokter saja. Sebab, dokter bertindak berdasarkan pengalaman dan standar penanganan kanker internasional. "Kalau sudah timbul di ketiak, pengalaman dia dan standar penanganan internasional mengatakan harus dikemoterapi," katanya.
Dia melanjutkan, kanker ukurannya ada yang sekecil kacang dan ada yang sebesar kedondong. Makin dia besar, makin agresif, dokter pasti akan kemo. Tapi dengan tes genomik, ternyata yang sebesar kedondong itu 60 persen risiko rendah. Dia bisa menjalani lima tahun tanpa kambuh kembali.
Sayangnya, tidak banyak rumah sakit yang telah menyediakan tes genomik. Untuk di Jakarta, tes ini terdapat di Rumah Sakit (RS) Pondok Indah, RS Dharmais, dan RS Metropolitan Medical Center. Ahmad mengatakan, Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (Peraboi) sendiri belum memasukan secara tegas penggunaan tes genomik pada kanker payudara. Hal dikarenakan relatif mahalnya biaya tes genomik yang sekitar Rp 30 juta hingga Rp 40 juta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.