"Ketika peradaban Islam mulai meluas dan akhirnya bersentuhan dengan peradaban Yunani, tidak terkecuali hasil karya dari pemikir Yunani seperti Aristoteles dan lain-lain. Mereka bisa saja menolak dan menghancurkan karya-karya ilmiah dan intelektual peradaban Yunani mengingat perbedaan prinsip yang kontras antara Yunani dan Islam," katanya.
“Tapi sebaliknya, yang dilakukan peradaban islam ketika itu justru memilih sikap ‘mari kita luruskan pengetahuan mereka'. Dan kemudian dimulailah pergerakan intelektual melalui gerakan penerjemahan karya ilmiah Yunani dari Bahasa Latin ke Bahasa Arab yang berlangsung selama 300 tahun.”
“Pesannya adalah, penting untuk belajar dari orang lain. Tapi kita harus memfilter pembelajaran itu melalui cara pandang Islam yang tidak melihat dunia secara hitam putih, tapi sebagai sesuatu yang saling terhubung dan kita harus bekerja bersama untuk meningkatkan martabat manusia.”
Diskusi ini merupakan rangkaian kegiatan delegasi intelektual muslim dari CITE UniSA selama sepekan di Indonesia. Mereka menggelar 12 diskusi di sejumlah perguruan tinggi Islam di Jakarta, Surabaya, Semarang, Jogjakarta dan Makassar.
Di Jakarta CITE juga menandatangai MOU kerjasama dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.
(Baca juga: Mengapa Banyak Ilmuwan Indonesia yang Hengkang ke Luar Negeri?)
Selain Prof Abdalla, hadir juga peneliti dari CITE -UniSA seperti Dr Nada Ibrahim yang berbicara mengenai peran intelektual muslim perempuan, Dylan Chown dengan topik pendidikan di sekolah-sekolah Islam, Dr Nezar Faris mengenai Leadership dalam Islam serta DR Mahmood Nathi mengenai kajian ekonomi keuangan Islam.
University of South Australia (UniSA) merupakan bagian dari Australian Technology Network (ATN) yakni konsorsium 5 perguruan tinggi muda dan paling inovatif di Australia yang terdiri dari Queensland University of Technology di Brisbane, University of Technology Sydney, RMIT University di Melbourne, University of South Australia di Adelaide, dan Curtin University di Perth.