Oleh Kristi Poerwandari
Muncul lagi cerita mengenai kekerasan seksual kepada anak dan remaja di sejumlah tempat, hingga terungkapnya jaringan paedofil yang berbisnis pornografi anak melalui Facebook. Sangat memprihatinkan dan memerlukan sanksi hukum yang tepat untuk penjeraan.
Penelitian dari tahun ke tahun mengungkap fakta yang relatif sama, yakni bahwa kasus kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es, yang terungkap hanya sedikit dibandingkan yang sesungguhnya terjadi.
Dari survei nasional di Amerika, Finkelhor dan kawan-kawan (1990) menemukan hanya 42 persem dari orang dewasa yang mengidentifikasi diri pernah mengalami pelecehan seksual di masa kanak, mengaku menceritakan kejadian itu tidak lama setelah kejadian hingga 1 tahun setelahnya. Sisanya tidak bercerita, atau merahasiakannya dalam waktu lebih lama.
Respons orangtua
Penelitian lebih kini yang dilakukan Hershkowitz dan kawan-kawan (2007) menemukan bahwa lebih dari separuh anak (53 persen) tidak langsung bercerita, dan karena berbagai alasan merahasiakan peristiwa yang dialaminya hingga waktu lama. Separuh dari anak-anak tersebut merasa takut atau malu oleh respons orangtua dalam menanggapi cerita mereka.
Gonzales dkk (1993) melaporkan bahwa anak yang dikirim untuk menjalani terapi sering ragu untuk bercerita. Mereka menyinggung sedikit, dan menunggu bagaimana reaksi orang-orang dewasa terhadap cerita itu sebelum berani mengungkap lebih banyak.
Anak khawatir tidak dipercaya, atau justru ditolak, dipersalahkan dan dimarahi untuk cerita yang disampaikannya.
Penelitian menunjukkan bahwa dukungan orangtua menyusul cerita mengenai kejadian buruk yang dialami anak, khususnya kekerasan seksual, merupakan faktor kuat yang dapat menangkal efek-efek negatif dari kekerasan yang dialami. Sekaligus akan membantu anak dapat menjalani adaptasi dan pemulihan psikologi secara baik.
Sayangnya, cukup banyak orangtua belum mampu melakukannya. Roesler dan Wind (1994) melakukan penelitian pada perempuan dewasa yang mengidentifikasi diri pernah mengalami kekerasan seksual di masa kanak oleh anggota keluarga. Penelitiannya menemukan, sering orangtua tidak bersifat suportif. Responden yang mengingat bahwa respons orangtuanya menguatkan dan memberi dukungan hanya 37 persen, sisanya merasa tidak memperoleh penguatan.
Pengalaman saya sendiri dalam pendampingan menunjukkan betapa respons orangtua sangat memengaruhi perkembangan kasus selanjutnya. Sampai sekarang saya masih ingat beberapa kasus anak perempuan yang bertahun-tahun lalu pernah saya dampingi.
Yang pertama berusia 9-10 tahun, mengalami kekerasan seksual dari kenalan ayahnya. Sang ayah yang mendengar ceritanya langsung marah dan memukulinya, lalu menarik anak ini ke rumah pelaku, dan memukuli pelaku di depan anak. Situasi makin runyam karena pelaku tidak terima dengan perlakuan ayahnya, lalu mengajak teman-temannya menyerang perumahan tempat keluarga korban tinggal.