KOMPAS.com - Bayangkan jika setiap hari, tiap warga Indonesia yang jumlahnya 250 juta menggunakan satu sedotan plastik sepanjang 20 cm dan langsung membuangnya. Sedotan yang semula cuma printilan jadi masalah karena sampah yang terakumulasi bila direntangkan mencapai 5.000 kilometer, setara jarak Jakarta ke Sydney.
Kasus sedotan itu jadi gambaran masalah plastik. Publikasi di jurnal Science mengungkap , tahun 2010 saja, dunia menghasilkan plastik sebanyak 12 juta ton. Indonesia sendiri tercatat sebagai penghasil sampah plastik terbesar kedua setelah China, 1,8 juta ton per tahun. Jika berlanjut, bumi jadi planet yang dipenuhi plastik.
Kevin Kumala tak rela hal itu terjadi. Tahun 2013, ia dan rekannya merintis perusahaan start-up berbasis sains, Avani Eco. Kevin bermimpi menghasilkan plastik yang tetap praktis dan kuat sekaligus dapat terurai serta tidak berbahaya bagi makhluk hidup.
Baginya, plastik yang bisa terurai akan melengkapi gerakan 3R: Reduce, Reuse, Recycle. "Saya tidak antagonistik dengan gerakan 3R. Tapi yang mengkhawatirkan, 3R itu tersimpan dalam alam bawah sadar. Ketika sibuk, kita tidak bisa melakukan itu. Maka kita harus kampanyekan satu R lagi, Replace (membuat pengganti)," terangnya.
Mengganti Polystyrene dengan Singkong
Gagasan Kevin adalah bioplastik berbahan pati, senyawa karbohidrat kompleks seperti bahan dasar penyusun nasi dan roti.
Di dunia, bioplastik bukan barang baru. Sejak 1990, perusahaan di Eropa sudah memproduksi bioplastik dari jagung, serat bunga matahari. Namun, jika memproduksi bioplastik dari bahan yang sama, maka biayanya akan mahal.
Kevin pun mencari alternatif dan menganggap singkong adalah bahan bagus. "Di Indonesia produksi singkong 24-25 ton per tahun dan permintaannya masih di bawah itu," katanya.
Kevin tak menggunakan singkong mentah melainkan yang sudah berbentuk tepung. Jenis tepung yang dipakai adalah industrial grade yang biasa dipakai untuk pakan ternak. Bisa dibilang, tepung itu adalah buangan karena kadar patinya minim.
Sampai tahap gagasan, sebenarnya tak ada yang istimewa. Banyak mahasiswa Indonesia telah melakukan penelitian pembuatan plastik dari pati singkong, ganyong, gembili, bahkan kulit pisang. Yang istimewa dari Kevin, ia mengubah gagasannya menjadi nyata.
Kevin mengaku, ada tantangan besar untuk mengubah gagasannya menjadi kenyataan. Butuh riset yang tekun untuk menghasilkan bioplastik berkualitas sehingga biaya tinggi pun tak terelakkan. Kevin mengaku sempat kesulitan mendapatkan dana cukup untuk risetnya.
Avani Eco yang didirikannya mengalami titik balik pada Februari 2016. Kala itu, Kevin merasa produknya siap dipasarkan. ia pun menawarkan bioplastiknya pada pelaku industri perhotelan dan restoran dan berhasil. Kien pertamanya adalah Ritz Carlton Hotel.
Kampanye di media sosial lewat video meminum larutan bioplastik dan pendekatan ke komunitas menambah konsumen bioplastik. Hotel Marriot dan sejumlah kafe kini memakai produk Avani Eco. Garuda Indonesia memakai bioplastik Avani Eco untuk pembelanjaan dalam penerbangannya.
Kapasitas produksi Avani Eco meningkat pesat dalam setahun, dari 0,2 ton per hari pada awal 2016 menjadi 4 ton per hari saat ini. 80 persen hasil produksi diekspor. Ekspor bukan hanya ke negara barat, tetapi juga ke negara seperti Rwanda dan Kaledonia Baru.