Sudah "Sepintar" Apa Kota Anda?

Kompas.com - 13/12/2016, 18:32 WIB
Sri Noviyanti

Penulis

"Kecepatan internet di Bangkok hanya 2,33 Mbps, New Delhi 1,89 Mbps, Kuala Lumpur 5,87 Mbps, ada di bawah kita," ujar Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, pada Kompas.com, Jumat (18/3/2016).

Namun, kecepatan tinggi saja tak akan memadai untuk mewujudkan “kota pintar” yang segala hal di wilayah itu terhubung dengan jejaring internet. Kepastian akses juga menjadi kuncinya. Karena itu, kehadiran server yang bisa bekerja real time selama 24 jam per hari menjadi tak terhindarkan.

Jangankan layanan publik, aplikasi e-commerce atau transportasi online pun tak akan dilirik pelanggan bila lemot apalagi susah diakses. Tidak akan pernah menarik juga ketika situs web e-commerce terus-menerus gagal transaksi karena server-nya sering bermasalah dan membuat proses jual beli terhenti.

Ketersediaan server berteknologi tinggi juga akan punya tantangan besar, bila tak mendapat jaminan pasokan listrik. Di balik semua penerapan teori Internet of Things, kinerja server yang disokong kepastian pasokan listrik merupakan duet kunci.

Bagi kota atau kawasan yang menerapkan konsep “pintar”, gangguan server karena terputusnya aliran listrik dari jaringan utama akan menjadi malapetaka. Belum lagi, terputusnya aliran listrik juga dapat merusak beragam hardware dalam sistem yang terhubung denganserver dan jaringan internet.

Kerusakan bisa menimpa mulai dari “dalaman” komputer atau laptop yang dipakai mengakses jaringan hingga ke data yang tersimpan di peranti itu dan data center.

Peranti yang tepat

Pada era IoT, ada lonjakan penggunaan data dalam jumlah besar sehingga butuh peningkatan kapasitas penyimpanan. Server yang dipakai pada era seperti ini sebaiknya juga mampu mengantisipasi dan siap menghadapi aneka rupa gangguan, terutama mencegah terjadinya kegagalan sistem dan memastikan keamanan data.

Sebaiknya, peranti itu pun punya mekanisme mengantisipasi kerusakan, bahkan dari risiko kebakaran.

Thinkstock Ilustrasi pengaplikasian internet of things dimana alat transportasi terhubung dengan internet.

Selain butuh dukungan hardware canggih, server juga memerlukan topangan software—perangkat lunak—yang teruji untuk dapat berfungsi baik. Operasionalisasi server ini pun harus berbasis otomatisasi, termasuk saat menghadapi gangguan arus listrik dari jaringan utama.

Kapasitas penyimpanan server tak boleh luput pula sebagai pertimbangan, demi mengoptimalkan fungsinya pada era IoT. Selain itu, periksa pula kompatibilitas dan daya tahan baterai untuk memastikan sistem tak terhenti selama peralihan pasokan listrik dari jaringan utama ke uninteruptable power supply (UPS) penunjang server.

Untuk aktivitas dan bisnis yang skalanya di lingkup wilayah tertentu,  ada produk micro-data center (MDC) yang dirancang untuk mendukung edge computing. Smartbunker FX dari Schneider Electric adalah salah satunya. Adapun bagi usaha yang berskala luas dengan kompleksitas tinggi dan data berukuran besar, misalnya di smart city, ada juga MDC smartshelter multi-rack dari Schneider Electric.

Jadi, sudah "sepintar" apa kota Anda?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau