KOMPAS.com - Akhir Maret lalu, di situs Nature, tim peneliti Liang Bua memublikasikan temuan baru punahnya Homo floresiensis atau manusia kerdil "hobbit" sekitar 50.000 tahun lalu. Lenyapnya keberadaan "hobbit" di Liang Bua, Flores, bersamaan dengan migrasi manusia modern menuju ke Australia.
Fenomena tentang penemuan hobbit cukup menyedot perhatian dunia. Sosok Homo floresiensis yang mengingatkan kita pada tokoh hobbit dalam trilogi film The Lord of The Rings ini unik karena menyimpan banyak misteri.
Temuan terakhir tim Liang Bua dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Universitas Wollongong, Australia, dan The Smithsonian Institution, Amerika Serikat, mengoreksi hasil penelitian sebelumnya yang menyebut kepunahan hobbit pada 12.000 tahun lalu. Pada penelitian 2001-2004 lalu terjadi kekeliruan interpretasi penanggalan lapisan arang karena penanggalan dilakukan pada deposit tanah yang telah tergerus erosi kemudian tertutup sedimen tanah berusia muda. Jadi hasil penanggalan pada lapisan arang di lapisan tanah tersebut menunjuk usia 20.000 tahun lalu dengan perkiraan waktu kepunahan hobbit sekitar 12.000 tahun lalu.
Namun, begitu dilakukan penggalian pada lapisan tanah lain yang belum terkena erosi, ditemukan fakta lain bahwa kerangka-kerangka hobbit berusia antara 100.000 dan 60.000 tahun. Sementara alat-alat batu di sana yang diduga dibuat spesies ini berumur hingga 50.000 tahun.
Sekitar 50.000 tahun lalu, hobbit diperkirakan punah karena tak lagi ditemukan jejaknya pada lapisan tanah seusia itu di Liang Bua. Punahnya hobbit bersamaan dengan lenyapnya beberapa spesies lain, seperti gajah mini purba (Stegodon pygmy), burung pemakan bangkai, burung bangau raksaksa marabau, dan komodo.
"Hewan-hewan itu hilang semua bersama hobbit. Ada banyak kemungkinan penyebab kepunahan mereka. Bisa jadi akibat perubahan cuaca, letusan gunung api, atau kedatangan manusia modern yang kemudian mengintervensi mereka," kata paleontropolog dari Universitas Lakehead Kanada, Matt Tocheri, Rabu (30/3/2016), di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta.
Menurut Matt, ada semacam jalinan simbiosis mutualisme antara hobbit dan hewan-hewan tersebut. Oleh karena itu, begitu salah satu di antaranya punah, yang lain turut serta lenyap.
"Hobbit, marabau, komodo, dan burung pemakan bangkai sama-sama membutuhkan makanan dalam jumlah banyak, dan mangsa yang ada saat itu adalah gajah mini. Ketika gajah mini punah, habislah makanan mereka. Lalu siapa yang menghabiskannya? Apakah mereka atau manusia? Bukti-buktinya masih terus dicari," lanjutnya.
Senada dengan Matt, anggota Dewan Peneliti Universitas Wollongong, Australia, Profesor Richard "Bert" Roberts, juga mengatakan, sampai saat ini belum ditemukan jawaban apakah para hobbit sempat bertemu dengan kelompok-kelompok manusia modern. Meski demikian, dugaan intervensi manusia modern terhadap keberadaan hobbit agak beralasan karena manusia kerdil ini lenyap tepat saat migrasi besar manusia modern menuju Australia melewati Asia Tenggara, termasuk Flores, pada 50.000 tahun lalu.
Kemungkinan penyebab lain kepunahan hobbit masih terbuka lebar, seperti prediksi adanya letusan gunung api yang jejaknya tampak dari penemuan lapisan tefra atau abu vulkanik di Liang Bua. "Ada dua jenis abu vulkanik hasil erupsi piroklastik berwarna hitam dan putih. Kami masih terus-menerus mencoba meneliti dari gunung mana abu vulkanik tersebut," ujar Thomas Sutikna, peneliti utama Liang Bua dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, yang tengah menempuh studi S-3 di Universitas Wollongong, Australia.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.