Dengan memasukkan unsur musim, satu bulan dalam kalender Tionghoa tetap berlangsung antara 29 dan 30 hari seperti sistem kalender Islam.
Namun, kemudian, akan ada bulan kabisat atau Lun Gwee.
Lama bulan kabisat 29-30 hari juga. Penambahan dilakukan setiap 2,7 tahun sekali. Jadi, ada satu tahun dalam kalender Tionghoa yang punya 13 bulan.
Dengan cara itu, selisih 11 hari dengan kalender Masehi bisa diatasi, dan tahun baru Tionghoa tetap jatuh pada musim semi.
Cermin peradaban
Mengapa orang Tionghoa memasukkan unsur musim, sementara Islam melarang?
Penjelasannya bisa hanya mutlak pada faktor kepercayaan, tetapi juga bisa dibahas secara antropologis.
Secara kepercayaan, masyarakat Tionghoa punya keyakinan bahwa tahun baru harus jatuh pada musim semi, saat musim panen tiba.
Musim semi dinilai sebagai momen keberuntungan.
Sementara itu, dalam Islam, memasukkan unsur musim seperti dilakukan dalam kalender Tionghoa atau masa Quraisy dianggap haram dan mengulur-ulur waktu.
Pelarangan itu termuat di dalam Al Quran surat At Taubah ayat 36 dan 37.
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram...."
"Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran...."
Jika puas dengan penjelasan kepercayaan, mungkin kita lantas menghakimi budaya yang lain. Namun, jika memahami latar belakang budaya, kita bisa belajar tentang toleransi.
Bagi masyarakat Tionghoa, musim memang penting.
"Tiongkok merupakan bangsa agraris. Jadi, memasukkan unsur musim itu penting," ungkap Hakim.
Sebaliknya, tanah Arab adalah gurun, tak mungkinlah bertani. Arab merupakan wilayah dagang sehingga musim menjadi tak terlalu penting bagi penduduknya.
Koreksi: Larangan dalam Al Quran terkait mengundur penanggalan ada dalam At Taubah ayat 36-37, bukan ayat 38-39 seperti ditulis sebelumnya.