Perjalanan Manusia Memahami Sihir Gerhana

Kompas.com - 03/02/2016, 15:00 WIB

Mitos berkembang mewakili bentuk pemikiran manusia yang paling sederhana. Mitos punya logika tersendiri sesuai dengan logika masyarakat pada masa tertentu. Karena itu, meski mitos memiliki kemampuan bertahan lama dan tidak mudah terkuburkan, ia akan berubah sepanjang waktu.

Kehadiran agama memunculkan pemahaman baru manusia bahwa gerhana adalah ciptaan dan tanda keagungan Tuhan. Meski agama mengabarkan gerhana sebagai peristiwa alam biasa, tak terkait pertanda buruk, upaya manusia menjadikan gerhana sebagai penanda tak hilang begitu saja.

"Gerhana dimaknai bukan hanya penanda bencana, tetapi juga datangnya keberkahan seiring terbitnya cahaya terang usai gerhana," kata ahli astronomi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bambang Hidayat.

Baca juga: Berburu Kesempatan Langka Seumur Hidup

Namun, ketidakmampuan manusia memahami gerhana terkadang justru dimanfaatkan orang untuk mengambil keuntungan dari masyarakat.

Kolumnis space.com, Joe Rao dalam How a Lunar Eclipse Saved Columbus, 8 Februari 2008 menyebut, Christopher Columbus yang mengetahui akan terjadi gerhana Bulan pada 29 Februari 1504 memaksa rakyat Jamaika memberi makanan bagi timnya yang terdampar. Pengetahuan soal gerhana itu dari almanak astronomi 1475-1506 buatan astronom Jerman, Johannes Müller von Königsberg atau Regiomontanus, bawaan pelaut masa itu.

Dinamika langit

Seiring perkembangan pemikiran manusia dan diketahuinya sistem gerak benda langit, pemahaman manusia tentang gerhana mulai berubah. Gerhana tak lagi dimaknai keganjilan, tetapi peristiwa alam biasa yang jarang terjadi.

Perubahan pemahaman itu, kata Norma, berkembang 500 tahun terakhir saat teleskop ditemukan awal abad ke-17. Gerhana yang semula ditakuti kini diburu, khususnya astronom, ilmuwan, dan pemburu gerhana.

TRIBUN JOGJA/HASAN SAKRI GHOZALI Anggota Jogja Astro Club tengah mengamati fenomena alam gerhana matahari sebagian yang terlihat dari Kota Yogyakarta, DI Yogyakarta, Jumat (10/5/2013). Gerhana matahari sebagian tersebut berlangsung mulai pukul 05.58 WIB hingga pukul 06.25 WIB.
Perburuan gerhana itu mendorong munculnya berbagai penelitian ilmiah tentang gerhana. Pengamatan saintifik pertama GMT dilakukan Johannes Kepler pada 1605. Berikutnya GMT pada 3 Mei 1715, Edmund Halley mampu memprediksi waktu dan jalur terjadinya gerhana dengan baik. Dari terjadinya GMT 16 Agustus 1868, astronom Juless Jansen dari Perancis dan Norman Lockyer dari Inggris berhasil menemukan helium, unsur kedua teringan dan terbanyak di alam.

Penelitian gerhana pun meluas. Pada GMT 29 Mei 1919, astronom Inggris, Sir Arthur Eddington, membuktikan keberadaan pembelokan cahaya bintang di belakang Matahari akibat gravitasi Matahari sesuai teori relativitas umum Einsten. Tak hanya itu, penelitian dalam bidang ilmu kebumian, meteorologi, biologi, dan zoologi selama terjadi gerhana juga turut berkembang.

Baca juga: Maksud Hati Menjual Gerhana, Mendongkrak Devisa

Seiring kemajuan telekomunikasi, perburuan gerhana bukan lagi menjadi domain ilmuwan. Masyarakat awam pun kini bisa turut berburu gerhana. Mereka rela mengeluarkan dana besar untuk mendatangi berbagai tempat eksotis di Bumi yang nyaris tak terjamah, seperti Antariksa ataupun menerbangi stratosfer Bumi demi melihat gerhana.

Kemajuan telekomunikasi dan informasi juga mengubah gerhana yang semula jadi hiburan langka dan tak bisa disaksikan semua orang menjadi peristiwa alam yang bisa disaksikan siapa pun dan di mana pun. Dengan teknologi livestreaming, masyarakat di luar jalur GMT yang sempit pun tetap bisa menyaksikan keindahan gerhana yang menyihir.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Februari 2016, di halaman 24 dengan judul "Perjalanan Manusia Memahami "Sihir" Gerhana".

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau