Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sains dan Seksualitas, Tentang Identitas yang Beragam

Kompas.com - 14/12/2015, 20:30 WIB

Tama dan Alia, juga Opi, Rika, Emil, dan lain-lain dari organisasi People Like Us, Ikatan Waria Yogyakarta (Iwayo), dan Satu Hati menguraikan rumitnya mendefinisikan peran, keterikatan, dan konstruksi sosial dalam hubungan sesama jenis.

"Ada istilah fake comfortability di kalangan remaja homoseksual," jelas Opi (23), "Dalam masa tertentu, dia merasa nyaman, tetapi lalu ekspresi seksualnya ingin berubah dan bisa dengan lawan jenis."

Hal yang sama terjadi di kalangan hetero. "Tetapi, lebih sulit bagi kelompok ini mengakui dirinya biseksual," sambung Amir dari Yotha-PKBI Yogyakarta.

Tidak dikotomis

Dikotomi dalam hidup tak bisa diandaikan. Amir mengutip Skala Kinsey, Skala Peringkat Heteroseksual-Homoseksual yang diciptakan Alfred Kinsey bersama Wardell Pomeroy dan Clyde Martin, pada tahun 1948.

Dalam "Sexual Behavior in the Human Male" (1948) dan "Sexual Behavior in the Human Female" (1953), Kinsey menyatakan, perilaku seksual, baik yang secara sosial diterima maupun tidak diterima, heteroseksual atau homoseksual, adalah kenyataan. Hal yang disangkali ialah gradasi dari ujung ekstrem satu ke ujung ekstrem lainnya.

Kinsey menciptakan sistem klasifikasi yang mendeskripsikan sejarah seksual seseorang pada waktu tertentu, untuk menunjukkan kontinuitas gradasi dari sejarah perjalanan heteroseksual murni ke homoseksual murni. Skala dengan 7 peringkat itu menggambarkan gradasi tersebut secara lebih akurat.

Kalau mengacu pada Kinsey, "koreksi" untuk "meluruskan" orientasi seksual sesuai dengan yang dianggap "normal" dalam norma arus utama, selain melanggar hak, juga sia-sia.

Correction rape biasanya dilakukan dengan paksaan menikah dan punya anak, tanpa dipahami, seksualitas di otak berlawanan dengan seksualitas fisik. "Kalau ketangkep, waria dipotong rambutnya, dipaksa memakai pakaian laki-laki," kata Alia.

Strategis

Isu SRHR adalah perjuangan tanpa akhir, lebih-lebih di kalangan remaja dan kaum muda dengan seksualitas beragam. Hal inilah yang membuat posisi Yotha strategis dalam perjuangan kesetaraan dan keadilan.

Yotha diawali pengorganisasian komunitas waria tahun 1993, dengan program penanggulangan HIV/AIDS. "Sejak 2006, cakupannya lebih luas, terkait relasi kuasa, konstruksi sosial, identitas, serta hak-hak atas kesehatan reproduksi dan seksual," ungkap Direktur PKBI Yogyakarta Gama Triono.

Mereka juga mengubah model kampanye. "Kalau kampanye Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan berlangsung 16 hari, agenda kami 39 hari menuju Hari HAM, 10 Desember," lanjutnya.

Sepanjang tahun 2005-2010 mereka menyelenggarakan berbagai kegiatan dan festival terkait seksualitas beragam. Sejak tahun 2012, Yotha dinyatakan sebagai gerakan.

"Kalau dulu perjuangannya menolak kekerasan terkait jender biner, sekarang jender beragam," sambung Tama.

Isu yang rumit itu hampir tak pernah disentuh di ruang publik. Diskriminasi dan kekerasan terus berlangsung. Suara mereka hilang di ruang-ruang politik formal.

Dalam "Sexual Politics" (1970), ilmuwan feminis Kate Millet menulis, politik seksual sangat tajam mendefinisikan relasi-relasi atas dasar kontak personal antaranggota dari berbagai kelompok koheren, ras, kasta, kelas, dan seks. Kelompok yang tidak terwakili dalam struktur politik cenderung terus ditindas. "PKBI Yogya menggantikan peran negara untuk menanggapi isu ini," tegas Tama.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com