Kisah Ilmuwan Indonesia Menemukan Tikus Hidung Babi di Hutan Perawan

Kompas.com - 06/10/2015, 11:58 WIB
KOMPAS.com — Menemukan tikus hidung babi di hutan perawan Sulawesi bukanlah hal mudah. Medan berat harus ditaklukkan. Peneliti dan kurator koleksi mamalia Museum Zoologi Bogor, Anang Setiawan Achmadi, berbagi kisah penemuan makhluk unik itu. (Baca: Tikus Hidung Babi Ditemukan di Hutan Perawan Sulawesi)

Anang menceritakan, awal penemuan tikus hidung babi itu bermula dari ekspedisi penelitian hasil kerja sama dengan Lousiana State University dan Museum Victoria.

Tahun 2012, Anang bersama Jake Esselstyn, Kevin Rowe, dan Heru Handika melaksanakan ekspedisi ke hutan-hutan wilayah Sulawesi Tengah.

"Awalnya, kita rencanakan ke Gunung Sojol. Habitatnya lebih bagus. Tetapi, di sana tinggi dan akses informasi minim. Akhirnya, kita putuskan lebih ke utara di Gunung Dako," kata Anang.

Gunung Sojol adalah gunung tertinggi di Sulawesi Tengah, terletak di Donggala, dan punya ketinggian 3.226 meter. Sementara itu, Gunung Dako di Toli-toli memiliki ketinggian 2.304 meter.

Setelah menentukan lokasi, tim peneliti mulai menentukan site penelitian dan menganalisis lokasi. Mereka membagi menjadi dua site penelitian, di bawah 500 meter di bawah permukaan laut dan di atasnya.

"Target utama kita adalah ketinggian 1.500 meter. Kita sudah analisis dengan Google Earth, ada tanah datar di ketinggian 1.500 meter di Gunung Dako," ujar Anang.

"Berdasarkan penuturan penduduk lokal, masih sedikit yang sampai ke sana. Baru para pencari rotan. Katanya memang di sana masih banyak anoa," ujarnya.

Peneliti lalu membagi diri menjadi dua tim. Satu tim melakukan survei untuk memastikan kondisi di ketinggian yang dituju, sementara yang lainnya tinggal di bawah.

Begitu tim survei kembali ke bawah membawa informasi jalur dan kondisi tanah datar di ketinggian, semua peneliti pun mulai mendaki gunung.

Museum Victoria/LIPI Tikus hidung babi (Hyorhinomys stuempkei)
Tim peneliti mesti mengarungi medan berat untuk sampai ketinggian yang dituju. Kegagalan dalam mengarungi medan ini akan otomatis menggagalkan dan menghapus potensi menemukan satwa-satwa menarik.

"Kita harus susur sungai di Malangga Selatan. Butuh waktu tiga jam untuk sampai ke kamp pertama," tutur Anang ketika dihubungi Kompas.com, Senin (7/10/2015).

"Dari kamp pertama lalu delapan jam hike up. Jadi, kita berangkat pagi, istirahat semalam di kamp pertama baru teruskan esok paginya lagi," ujarnya.

Perjalanan menuju dataran di ketinggian sekitar 1.600 meter di atas permukaan laut itu seperti menyusuri tebing. Tim harus melewati hutan yang didominasi rotan. Cukup berbahaya.

Saat perjalanan pulang, salah satu peneliti Australia yang terlibat sempat jatuh. "Luka-luka. Tetapi, itu sudah biasa kami alami," kata Anang.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau