Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membaca Tanda-tanda El Nino Kuat

Kompas.com - 31/07/2015, 15:00 WIB
Kaitan bintik matahari dan flare di permukaan Matahari terhadap kejadian El Nino memang ada. Itu disampaikan Thomas Djamaluddin, pakar astronomi dan astrofisika yang juga Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Itu karena Matahari sebagai sumber energi Bumi suhu di permukaannya tergolong sedang dibanding bintang lainnya, yaitu sekitar 6.000 derajat celsius.

Energinya berasal dari reaksi nuklir di intinya yang panasnya sekitar 20 juta derajat celsius, dipancarkan dalam berbagai jenis gelombang: gelombang radio, inframerah (menghangatkan Bumi), cahaya tampak (menyebabkan siang jadi terang), ultraviolet (membakar kulit jika berjemur lama), sinar X dan gamma.

Matahari yang menyimpan energi sangat besar itu terkadang mengalami ledakan besar di permukaannya (flare).  Energi saat ledakan itu setara dengan 10 juta ledakan bom atom.

Fenomena El Nino menyebabkan anomali cuaca di banyak negara, yaitu kekeringan di Indonesia, Australia, Amerika Tengah, dan daerah Laut Karibia. Kondisi sebaliknya terjadi di kepulauan Pasifik tengah, Amerika Serikat bagian selatan, Cile, Argentina, Uruguay, dan Brasil, yang mengalami banyak hujan.

Pengamatan satelit Tiros-N milik Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS (NOAA) menunjukkan, El Nino meningkatkan suhu troposfer secara global. Pengamatan suhu global oleh satelit ini 1979-1992 mengindikasikan adanya pengaruh aktivitas matahari di samping fenomena El Nino/La Nina (kebalikan dari El Nino). Suhu cenderung meningkat saat aktivitas matahari maksimum atau ada El Nino dan cenderung minimum saat aktivitas matahari minimum atau ada La Nina. Suhu rata-rata musim kering di dua kota di Indonesia yang dianalisis (Padang dan Jakarta) menunjukkan pola perubahan mirip dengan suhu global itu.

Dampak El Nino di Indonesia terlihat gejala nyatanya pada Februari, berupa peningkatan suhu muka laut di timur ekuator Pasifik timur. Dampaknya biasa terjadi Juni-November, yaitu musim kemarau panjang. Berkurangnya hujan dan meningkatnya suhu udara membuat kian parahnya kekeringan di Indonesia saat El Nino.

Wilayah Indonesia yang tak terdampak El Nino hanya Sumatera bagian utara karena dilewati angin monsun dari Australia ke Asia, meski relatif sedikit membawa massa air dari benua gersang ini.

Melihat kecenderungan kenaikan suhu permukaan laut di Pasifik, NOAA menyatakan El Nino 1997 mirip El Nino 1982. Sementara itu, Edvin melihat, pada pola El Nino tahun 2015, peningkatan indeksnya sama dengan tahun 1997.

El Nino tidak mempunyai periodisitas tetap, tetapi berkisar 2-7 tahun. "Aktivitas matahari pun periodenya sebenarnya tidak konstan, berkisar 9,5-12 tahun dengan rata-rata 11 tahun," lanjut Thomas.  Namun, bukti-bukti empirik menunjukkan frekuensi kejadian El Nino lebih banyak saat aktivitas matahari minimum daripada saat aktivitas matahari maksimum.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com