Irma Hermawati dari Wildlife Crime Unit, Wildlife Conservation Society (WCS) kepada Kompas.com, Selasa (30/6/2015), mengungkapkan, "Permohonan maaf itu tidak cukup. Yang pasti kita tidak boleh menyiksa hewan baik yang dilindungi atau tidak."
Berdasarkan UU No 5 Tahun 1990 Pasal 21 ayat 2, siapa pun yang membawa, menangkap, membunuh, dan menjual satwa bisa dikenai denda Rp 100 juta dan 5 tahun penjara. Penyiksaan terhadap hewan juga bisa dikenai hukuman berdasarkan Pasal 302 KUHP.
"Dampak media sosial ini luar biasa, Selain penjualan satwa liar, semakin banyak yang upload dengan bangga memburu, menembak, eksploitasi satwa dilindungi dan tidak dilindungi. Kalau ini dibiarkan, akan berpengaruh pada orang lain untuk mengupload hal yang sama," urainya.
Novtamaputra mengatakan bahwa motivasi posting-nya bersama bekantan adalah guyonan. Anisa Ratna, sekretaris Garda satwa Indonesia mengatakan, "Kalaupun bercanda, guyonan ini memanacing orang untuk merasa tidak apa-apa berburu satwa yang nyaris punah."
Irma mengatakan, polisi harus serius menangani kasus kriminal terhadap satwa di dunia maya, baik penjualan maupun penyiksaan. Menurut Irma, selama ini polisi belum menganggap serius kasus penyiksaan pada satwa.
Konten pronografi dan yang berbau SARA selama ini dianggap sebagai konten yang tidak pantas untuk diunggah ke internet. Apakah konten penyiksaan terhadap satwa juga bisa diperlakukan sama? Mungkin itu juga perlu dibahas.